Center for Reproductive Health

STUDI KUALITATIF KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA: Program, Kebutuhan dan Strategi Pemenuhan Akses Layanan Bagi Remaja

Share This Story

STUDI KUALITATIF KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI INDONESIA

Program, Kebutuhan dan Strategi Pemenuhan Akses Layanan Bagi Remaja Belum Menikah

LAPORAN PENELITIAN

Juni 2017

Disiapkan oleh Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM:

Siswanto Agus Wilopo

Issac Tri Oktaviatie Ratnaningsih

Anggriyani Wahyu Pinandari

Agung Nugroho

Asal Wahyuni Erlin Mulyadi

Karina Puspitasari

Bekerjasama dengan Johns Hopkins Center for Communication Programs

 

RINGKASAN EKSEKUTIF
Perilaku seksual yang berisiko, merokok, penyalahgunaan obat dan kekerasan fisik berhubungan dengan kehamilan pada remaja. Kehamilan dan persalinan pada remaja akan berakibat pada meningkatnya masalah kesehatan dan memburuknya indikator kesehatan seksual remaja seperti aborsi yang tidak aman serta meningkatkan kematian remaja usia 15-19 tahun. Penggunaan kontrasepsi disetujui secara global pada perempuan usia 15-49 tahun, namun terbatasnya akses, pilihan metode kontrasepsi, serta monitoring dan evaluasi program KIE, memengaruhi fenomena kehamilan tidak diinginkan (KTD) yang akan mungkin meningkatkan permintaan aborsi tidak aman bahkan pada kelompok umur yang lebih muda. Jumlah remaja Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 64 juta jiwa (27,6%) yang berarti satu dari empat penduduk Indonesia adalah remaja, maka risiko kesehatan pada penduduk kelompok umur ini akan sangat memengaruhi kesehatan populasi di masa depan. Angka keterpaparan remaja usia 15-24 tahun terhadap informasi penundaan perkawinan dan pencegahan kehamilan di media massa menurun, padahal hasil SKRRI tahun 2012 menunjukkan peningkatan persentase remaja yang telah melakukan hubungan seksual pranikah. Di tahun 2015, ASFR usia 15-19 tahun di Indonesia masih 48, padahal pemerintah menargetkan penurunan ASFR hingga 38 pada 2019 (PMA2020). Perlu upaya lebih serius, terfokus dan intensif untuk mencapai target ini.

Saat ini tidak banyak studi berskala nasional di Indonesia yang memberikan gambaran status kesehatan remaja khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seksualitas dan kehamilan dari sudut pandang remaja itu sendiri, orang tua dan pemangku kepentingan. Padahal populasi muda Indonesia tersebar di seluruh nusantara dengan tingkat ekonomi dan sosio kultural yang beraneka ragam. Untuk mengisi kesenjangan informasi tersebut, studi kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam kepada lebih dari 200 pemangku kepentingan/stakeholder, wawancara dengan teknik vignette (cerita kasus) kepada 144 remaja laki-laki dan perempuan usia 10-14 tahun dan wawancara mendalam kepada orang tuanya sejumlah 144 pasang, serta FGD pada 288 remaja laki-laki dan perempuan usia 15-19 tahun.

Kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang berkualitas, mudah diakses dan bebas prasangka serta stigma disampaikan oleh sebagian besar remaja. Pada kelompok remaja usia 10-14 tahun ditemukan kesenjangan antara harapan sumber informasi yang diinginkan remaja dan sumber informasi yang orang tua mereka fikirkan. Ketika remaja 10-14 tahun ingin menerima informasi dari orang tua, orang tua justru beranggapan anak mereka sudah cukup mendapatkan informasi tersebut dari sekolah dan internet. Stigma dan tabu yang melekat pada isu-isu berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih banyak ditemukan di Indonesia. Bagi remaja 15-19 tahun kondisi ini menyebabkan akses informasi lewat internet atau teman sebaya lebih disukai. Hal ini juga yang menyebabkan orang tua dan penyedia layanan tidak mampu melaksanakan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi secara maksimal.

Usia menikah yang ideal tidak berbeda menurut pandangan semua remaja yaitu: perempuan berada pada rentang 20-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-30 tahun. Perbedaan usia ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan mengenai peran gender seperti bahwa laki-laki sebagai pemimpin keluarga harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan dan matang secara psikologis. Berkaitan dengan usia hamil bagi perempuan dan laki-laki menjadi ayah, mayoritas remaja menyebut usia 20-30 tahun adalah yang ideal, dan 25 tahun yang paling banyak disebut. Pilihan usia untuk menikah dan memiliki anak kurang lebih berada pada rentang umur yang sama dipengaruhi oleh pandangan budaya di masyarakat bahwa pasangan yang sudah menikah dituntut untuk memiliki anak sesegera mungkin.

Respon terhadap KTD menurut sebagian besar remaja, orang tua dan pemangku kepentingan adalah dinikahkan. Sebagian remaja menyatakan lebih baik melarikan diri/pergi dari rumah atau menggugurkan kandungannya/ kandungan pacarnya dengan cara-cara non-medis sesuai pengetahuan mereka menurut cerita dari teman-teman sebayanya. Respon lain terkait KTD yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, NTT dan Papua adalah aturan adat dalam bentuk pembayaran denda oleh laki-laki yang menghamili, meskipun tanpa harus menikahi. Besaran denda ditentukan oleh pihak perempuan berupa uang dan perhiasan yang dianggap berharga bagi suku/ masyarakatnya.

Koordinasi serta kerjasama antar-pemangku kepentingan dan pelaksana program masih menjadi masalah yang perlu dipecahkan baik di sektor pemerintah (antar SKPD) maupun swasta yang melibatkan LSM/Ormas, tokoh masyarakat dan agama agar tidak terjadi tumpang tindih dana, program dan sasarannya. Kebutuhan akan inovasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi seperti penggunaan video, animasi, aplikasi online dan lain-lain yang lebih ramah dan menarik bagi remaja juga orang tuanya sangat dirasakan oleh mayoritas informan studi ini. Internalisasi dan advokasi di dalam institusi yang terkait dengan program kesehatan reproduksi masih belum berjalan efektif sehingga memengaruhi pandangan dan kepedulian stakeholder pemerintah dalam memastikan payung hukum serta dalam menjalankan pogram kesehatan reproduksi seksual remaja

Read more…