Publication
All our research and development is documented in various forms of publications, such as books, reports, journals and policy briefs which can be accessed below
Resource Library
Here you can access all our publication with ease
- Books
- Papers
- Reports
- Policy Brief

Buku Pegangan Indikator Untuk Evaluasi Program Keluarga Berencana
Lebih banyak kegiatan evaluasi program di bidang KB (KB) dibandingkan dengan evaluasi tentang intervensi kesehatan masyarakat, atau intervensi sosial lainnya. Upaya penyusunan buku pegangan ini merupakan hasil dari berbagai komitmen yang berkesinambungan antara pemerintah, Mitra kerja internasional, dan peneliti selama beberapa dekade untuk memahami dan menjelaskan mekanisme penggunaan metode kontrasepsi, yang akhirnya berujung pada penurunan tingkat fertilitas. Akhir-akhir ini, perhatian pada kontribusi program KB pada kesehatan ibu dan anak meningkat. Demikian juga tentang pentingnya KB sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak asasi manusia telah mendorong penilaian efektivitas program KB yang lebih luas sasarannya.
Banyak hasil kerja evaluasi program KB periode 1960 dan 1970 yang terfokus pada hasil pokok program, yaitu penggunaan kontrasepsi untuk menurunkan tingkat fertilitas di populasi. Namun seiring dengan perkembangan program, berbagai perhatian difokuskan pula pada komponen lain yang merupakan unsur-unsur program dan kinerja dari fungsi di bidang ini. Setelah bekerja beberapa dekade dan mendalami di bidang ini secara luas, maka telah dihasilkan berbagai indikator alternatif untuk menilai kinerja dan dampak dari program KB. Indikator-indikator dapat ditemukan pada berbagai literatur mengenai evaluasi program KB. Konsep-konsep pokok dan berbagai definisi telah dirangkum dalam publikasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada metodologi evaluasi program KB (PBB, 1986).
Kendati telah banyak pengalaman dan dokumentasi yang luas mengenai evaluasi program KB, terdapat dua kekurangan utama mengenai indikator dalam ruang lingkup ini. Pertama, definisi dari indikator yang digunakan untuk mengevaluasi program KB kurang konsisten. Kedua, berbagai indikator yang tersedia dalam literatur belum pernah dikompilasi menjadi satu sumber yang mudah diakses oleh pembaca dengan mudah. Buku pegangan ini dirancang untuk mengatasi dua kekurangan ini.
Kendati telah banyak pengalaman dan dokumentasi yang luas mengenai evaluasi program KB, terdapat dua kekurangan utama mengenai indikator dalam ruang lingkup ini. Pertama, definisi dari indikator yang digunakan untuk mengevaluasi program KB kurang konsisten. Kedua, berbagai indikator yang tersedia dalam literatur belum pernah dikompilasi menjadi satu sumber yang mudah diakses oleh pembaca dengan mudah. Buku pegangan ini dirancang untuk mengatasi dua kekurangan ini.

Buku Keluarga Berencana: Buku Pedoman Global Untuk Penyedia Layanan
Kesehatan Reproduksi menjadi salah satu faktor penentu tercapainya kesehatan dan kesejateraan keluarga dan penduduk. Untuk mencapai hal tersebut, pelayanan KB yang berkualitas dan berbasis pada hak-hak reproduksi setiap orang menjadi salah satu kegiatan utama. Berapapun jumlah penduduk yang dapat dilayani oleh program KB, apabila kualitasnya rendah maka hasilnya tidak akan maksimal. Salah satu cara memecahkan masalah tersebut ialah menyediakan informasi secara lengkap, akurat, terkini dan berbasis bukti Ilmiah dalam menjalankan pelayanan KB.
Buku Pegangan Global Keluarga Berencana (Global Handbook of Family Planning) edisi 2018 telah terbit dan menjadi menjadi salah satu bahan bacaan wajib bagi petugas pelayanan KB yang berlaku secara global. Edisi 2018 merupakan perbaharuan dari Edisi 2014 yang telah kami terjemakan sebelumnya kedalam Bahasa Indonesia. Edisi 2018 dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan seperti halnya edisi sebelumnya. Buku ini berisi pedoman pelayanan Keluarga Berencana bagi penyedia pelayanan KB yang dapat digunakan di seluruh dunia. Pengunaan buku ini didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia. Buku pegangan ini dirancang untuk dapat digunakan pada berbagai macam situasi yang ditulis berlandaskan pengetahuan dan berbasis bukti terkini. Diharapkan penyedia pelayanan KB di Indonesia akan menggunakan buku pegangan ini sehingga menjadi lebih terampil dan meyakinkan dalam melayani klien mereka.
Buku edisi 2018 ini mencakup beberapa hal baru yang ditambahkan dari edisi 2014 sebelumnya. Misalnya rekomendasi terbaru bagi wanita menyusui yang dapat menggunakan implan atau pil progestin kapan saja setelah melahirkan. Selain itu, cakupan-cakupan baru meliputi hak-hak asasi penyedia KB, peran pasangan dalam membantu penggunaan KB, adanya suntik KB yang dapat dipakai oleh wanita itu sendiri, penggunaan KB bagi penderita HIV, cincin vagina progesteron, dan pengguna KB dengan disabilitas.
Perluasan atau cakupan-cakupan baru tersebut memungkinkan untuk lebih terjangkaunya pelayanan KB ke seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelayanan KB merupakan layanan yang dapat dijangkau oleh seluruh wanita dalam kondisi apapun. Penggunaan kontrasepsi darurat juga lebih ditekankan di buku ini sehingga bagi wanita-wanita yang menginginkan penundaan kehamilan dalam kondisi emergensi dapat mengacu buku ini. Buku ini jauh lebih lengkap daripada edisi sebelumnya, sehingga diharapkan akan membawa banyak perubahan menuju pelayanan KB yang berkualitas di Indonesia.
Buku Pegangan Global Keluarga Berencana (Global Handbook of Family Planning) edisi 2018 telah terbit dan menjadi menjadi salah satu bahan bacaan wajib bagi petugas pelayanan KB yang berlaku secara global. Edisi 2018 merupakan perbaharuan dari Edisi 2014 yang telah kami terjemakan sebelumnya kedalam Bahasa Indonesia. Edisi 2018 dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan seperti halnya edisi sebelumnya. Buku ini berisi pedoman pelayanan Keluarga Berencana bagi penyedia pelayanan KB yang dapat digunakan di seluruh dunia. Pengunaan buku ini didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia. Buku pegangan ini dirancang untuk dapat digunakan pada berbagai macam situasi yang ditulis berlandaskan pengetahuan dan berbasis bukti terkini. Diharapkan penyedia pelayanan KB di Indonesia akan menggunakan buku pegangan ini sehingga menjadi lebih terampil dan meyakinkan dalam melayani klien mereka.
Buku edisi 2018 ini mencakup beberapa hal baru yang ditambahkan dari edisi 2014 sebelumnya. Misalnya rekomendasi terbaru bagi wanita menyusui yang dapat menggunakan implan atau pil progestin kapan saja setelah melahirkan. Selain itu, cakupan-cakupan baru meliputi hak-hak asasi penyedia KB, peran pasangan dalam membantu penggunaan KB, adanya suntik KB yang dapat dipakai oleh wanita itu sendiri, penggunaan KB bagi penderita HIV, cincin vagina progesteron, dan pengguna KB dengan disabilitas.
Perluasan atau cakupan-cakupan baru tersebut memungkinkan untuk lebih terjangkaunya pelayanan KB ke seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelayanan KB merupakan layanan yang dapat dijangkau oleh seluruh wanita dalam kondisi apapun. Penggunaan kontrasepsi darurat juga lebih ditekankan di buku ini sehingga bagi wanita-wanita yang menginginkan penundaan kehamilan dalam kondisi emergensi dapat mengacu buku ini. Buku ini jauh lebih lengkap daripada edisi sebelumnya, sehingga diharapkan akan membawa banyak perubahan menuju pelayanan KB yang berkualitas di Indonesia.

Sampling dan Estimasi Besar Sampel: Aplikasi di Bidang Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini merupakan panduan cara mengambil sampel dan mengestimasi besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Tulisan ini ditujukan kepada peneliti, dosen dan mahasiswa yang akan melakukan penelitian kuantitatif di bidangnya. Panduan ini akan membantu mereka agar penelitian yang dilakukan memenuhi kaidah lmiah secara universal. Hasil penelitian akan tidak bermanfaat apabila pada akhirnya besar sampel tidak mencukupi. Setiap penelitian yang tidak bisa menolak hipotesis nol seringkali akibat sampel yang kurang mencukupi. Oleh karena itu dari awal penelitian harus benar-benar secara cermat diperkirakan besar sampel minimal yang dibutuhkan. Tentu saja semua estimasi berdasarkan informasi dari parameter yang sudah tersedia dan keputusan peneliti dengan mempertimbangkan rancangan penelitian dan sumberdana yang tersedia. Telah banyak artikel dan buku yang membahas cara pengambilan sampel. Demikian juga cara-cara menghitung besar sampel yang dibutuhkan. Namun demikian ada beberapa alasan mengapa buku ini berbeda dengan publikasi yang ada.
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain

Petunjuk Penggunaan Stata
Buku ini adalah pengantar penggunaan perangkat lunak Stata untuk versi 16. Versi Stata secara berkala diperbarui dengan menambahkan kemampuan membuat program dan analisis statistik yang baru. Pengguna Stata di bidang ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat semakin meluas bahkan boleh dikatakan menjadi standar baru dalam analisis data kesehatan. Selain untuk keperluan analisis statistik, Stata versi 16 mempunyai kemampuan untuk membaca bahasa markup (markdown) yang dapat ditulis pada editor Stata (do Editor). Dengan fasilitas tambahan ini, menulis naskah dapat mengintegrasikan secara langsung dari teks ke analisa statistik oleh Stata. Buku ini dibuat menggunakan kemampuan tambahan tersebut.
Buku pengantar penggunaan Stata ini ditulis untuk mahasiswa dan para peneliti, termasuk dosen yang akan menganalisis data kesehatan. Karena berupa pengantar maka tidak mencakup berbagai teknik statisik pada tingkat lanjut. Namun demikian melalui buku pengantar ini diharapkan sudah cukup membantu dalam mengikuti kuliah-kuliah biostatistik yang kami berikan di program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dari pengalaman kami mengajar biostistik lebih dari 20 tahun ini, membaca buku ini adalah suatu keharusan agar belajar dan penerapan biostistik dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Program Stata kami pilih karena program ini memiliki kegunaan yang lebih luas di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Buku petunjuk (manual) lengkapnya juga tersedia dalam file pdf yang mencakup 31 volume dan terdiri lebih dari 15.000 halaman. Buku petujuk tersebut dapat diakses dari program Stata. Beberapa contoh perintah (command) untuk data prossing, transformasi dan analysis yang sederhana dapat di unduh di http://chnrl.net/lampiran.do. Semoga buku pengantar ini bermanfaat.
Buku pengantar penggunaan Stata ini ditulis untuk mahasiswa dan para peneliti, termasuk dosen yang akan menganalisis data kesehatan. Karena berupa pengantar maka tidak mencakup berbagai teknik statisik pada tingkat lanjut. Namun demikian melalui buku pengantar ini diharapkan sudah cukup membantu dalam mengikuti kuliah-kuliah biostatistik yang kami berikan di program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dari pengalaman kami mengajar biostistik lebih dari 20 tahun ini, membaca buku ini adalah suatu keharusan agar belajar dan penerapan biostistik dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Program Stata kami pilih karena program ini memiliki kegunaan yang lebih luas di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Buku petunjuk (manual) lengkapnya juga tersedia dalam file pdf yang mencakup 31 volume dan terdiri lebih dari 15.000 halaman. Buku petujuk tersebut dapat diakses dari program Stata. Beberapa contoh perintah (command) untuk data prossing, transformasi dan analysis yang sederhana dapat di unduh di http://chnrl.net/lampiran.do. Semoga buku pengantar ini bermanfaat.

Panduan Menulis Artikel Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini sebagai panduan untuk menulis artikel ilmiah di bidang kedokteran dan Kesehatan masyarakat untuk peneliti, dosen dan mahasiswa tentang bagaimana cara menulis artikel dan jurnal kedokteran dan Kesehatan masyarakat. Buku ini sebagai bentuk agar peneliti, dosen dan mahasiswa dapat menyebarluaskan hasil penelitian agar bermanfaat bagai masyarakat ilmiah dengan publikasi yang baik dan berkualitas sesuai pemahaman dan konsep-konsep penulisan artikel secara baik. Penulisan hasil penelitian dalam jurnal/artikel ilmiah harus memenuhi 2 kriteria pokok, yaitu: -- kaidah penelitian yang baik dan -- cara-cara publikasi yang benar. Kaidah penelitian yang baik harus mencakup berbagai aspek, antara lain masalah keaslian penelitian, relevansi pertanyaan penelitian yang diajukan, validitas dan reliabilitas pengukuran, kebenaran dan ketepatan cara analisis data, dan interpretasi hasil penelitian. Untuk tata-cara penulisan yang benar adalah mengikuti standar tata-cara penulisan ilmiah secara umum dan tata-cara penulisan artikel dari penerbit jurnal.

Sampling dan Estimasi Besar Sampel: Aplikasi di Bidang Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini merupakan panduan cara mengambil sampel dan mengestimasi besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Tulisan ini ditujukan kepada peneliti, dosen dan mahasiswa yang akan melakukan penelitian kuantitatif di bidangnya. Panduan ini akan membantu mereka agar penelitian yang dilakukan memenuhi kaidah lmiah secara universal. Hasil penelitian akan tidak bermanfaat apabila pada akhirnya besar sampel tidak mencukupi. Setiap penelitian yang tidak bisa menolak hipotesis nol seringkali akibat sampel yang kurang mencukupi. Oleh karena itu dari awal penelitian harus benar-benar secara cermat diperkirakan besar sampel minimal yang dibutuhkan. Tentu saja semua estimasi berdasarkan informasi dari parameter yang sudah tersedia dan keputusan peneliti dengan mempertimbangkan rancangan penelitian dan sumberdana yang tersedia. Telah banyak artikel dan buku yang membahas cara pengambilan sampel. Demikian juga cara-cara menghitung besar sampel yang dibutuhkan. Namun demikian ada beberapa alasan mengapa buku ini berbeda dengan publikasi yang ada.
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain
Title | Author | Journal | Year | Link |
---|---|---|---|---|
Measuring the prevalence of mental disorders in adolescents in Kenya, Indonesia, and Vietnam: Study protocol for the National Adolescent Mental Health Surveys | Holly E. Erskine, Ph.D. Sarah J. Blondell, Ph.D. Meaghan E. Enright, M.P.H. Jamileh ShadidYohannes Dibaba Wado, Ph.D. Frederick Murunga Wekesah, Ph.D. Amirah Ellyza Wahdi, M.D. Siswanto Agus Wilopo, Ph.D. Loi Manh Vu, Ph.D. Hoa Thi Khanh Dao, M.A. Vinh Duc Nguyen, Ph.D. Mark R. EmersonShoshanna L. Fine, Ph.D. Mengmeng Li, M.S.P.H. Robert W. Blum, Ph.D. Harvey A. Whiteford, Ph.D. James G. Scott, Ph.D. | Journal of Adolescent Health | 2023 | Link |
Family, community, institutional and policy factors on COVID-19 vaccine perceptions among urban poor adolescents in seven countries: qualitative cross-site analysis | Astha Ramaiya, Kristin Mmari, Ana Luiza Borges, Cristiane Cabral, Eric Mafuta, Aimee Lulebo, Chunyan Yu, Anggriyani Wahyu Pinandari, Siswanto Agus Wilopo, Effie Chipeta, Kara Hunersen | Medrxiv | 2023 | Link |
National health insurance contribution to family planning program funding in Indonesia: A fund flow analysis | Amirah Ellyza Wahdi, Edward Sutanto, Althaf Setyawan, Yufan Putri Astrini, Nadhila Adani3, Halimah Mardani, Nirwan Maulana, Anooj Pattnaik, Trihono Trihono, Siswanto Agus Wilopo | Gates Open Research | 2023 | Link |
Short-Term Effects of a School-Based Comprehensive Sexuality Education Intervention Among Very Young Adolescents in Three Urban Indonesian Settings: A Quasi-Experimental Study | Anggriyani Wahyu Pinandari M.P.H., Anna E. Kågesten Ph.D., M.P.H., Mengmeng Li M.D., Ph.D., M.P.H., Caroline Moreau M.D., Ph.D., M.P.H., Miranda van Reeuwijk Ph.D., M.Sc., M.A., Siswanto Agus Wilopo M.D., Sc.D., M.Sc. | Journal of Adolescent Health | 2023 | Link |
The impacts of two gender-transformative interventions on early adolescent gender norms perceptions: a difference-in-difference analysis | Sam Beckwith, Mengmeng Li M.D., M.S.P.H., Kathryn M. Barker Sc.D., M.P.H., Jennifer Gayles M.Sc., Anna E. Kågesten Ph.D., M.P.H., Rebecka Lundgren Ph.D., M.P.H., Pablo Villalobos Dintrans Dr.P.H., M.A., Siswanto Agus Wilopo M.D., Sc.D., M.Sc., Caroline Moreau M.D., Ph.D., M.P.H. | Journal of Adolescent Health | 2023 | Link |
“If it’s really excessive, it can enter your heart”: A Mixed Methods Investigation of Bullying Among Early Adolescents in Semarang, Indonesia | Shoshanna L Fine, Anggriyani W Pinandari, Solia M Muzir, Lina Agnesia, Putri I Novitasari, Judith K Bass, Robert W Blum, Miranda van Reeuwijk, Siswanto A Wilopo, Kristin Mmari | J Interpers Violence | 2023 | Link |
Sexual intercourse among early adolescents in Semarang, Central Java, Indonesia: Survey using RDS | Grhasta Dian Perestroika, SST, MKes, Yayi Suryo Prabandari, MSc, PhD, Siswanto Agus Wilopo, MSc, ScD | Asia Pacific Journal of Public Health | 2022 | Link |
A Multi-Country Study of Risk and Protective Factors for Emotional and Behavioral Problems Among Early Adolescent | Shoshanna L. Fine, Ph.D., M.P.H., Rashelle J. Musci, Ph.D., M.S., Judith K. Bass, Ph.D., M.P.H., M.I.A., Effie Chipeta, Ph.D., Eric M. Mafuta, M.D., Ph.D., M.P.H., Anggriyani W. Pinandari, M.P.H., Siswanto A. Wilopo, M.D., Sc.D., M.Sc., Xiayun Zuo, Ph.D., Robert W. Blum, M.D., Ph.D., M.P.H. | Journal of Adolescent Health | 2022 | Link |
A Latent Class Approach to Understanding Patterns of Emotional and Behavioral Problems among Early Adolescents Across Four Low- and Middle-Income Countries | Shoshanna L. Fine, Robert W. Blum, Judith K. Bass, Aimée M. Lulebo, Anggriyani W. Pinandari, William Stones, Siswanto A. Wilopo, Xiayun Zuo, Rashelle J. Musci | Development and Psychopathology | 2022 | Link |
Are we passing on violence to the next generation?: Gender norms and gender-based violence attitudes among early adolescents in Indonesia | I Gusti A A Mahendra, Anggriyani Wahyu Pinandari, Ifta Choiriyah, Siswanto Agus Wilopo | Kesimas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional | 2021 | Link |
Sexual wellbeing in early adolescence: A Cross-sectional assessment among girls and boys in urban Indonesia | Anna E. Kågesten, Anggriyani Wahyu Pinandari, Anna Page, Siswanto Agus Wilopo, Miranda van Reeuwijk | Reproductive Health | 2021 | Link |
Gender and health in very young adolescents | Caroline Moreau, M.D., M.P.H., Ph.D. Robert Blum, M.D., M.P.H., Ph.D. Kristin Mmari, M.A., DrPH Kara Hunersen, M.P.H. Eric Mafuta, M.D., M.P.H., Ph.D. Aimée Lulebi, M.P.H., Ph.D. Siswanto Wilopo, M.Sc., M.D., Sc.D William Stones, Ph.D. Denese Shervington, M.D., M.P.H. Kristien Michielsen, Ph.D Chaohua Lou, Ph.D. Ana Luiza Borges, Ph.D., M.P.H. Matilde Maddaleno, M.D., M.P.H. | Journal of Adolescent Health | 2021 | Link |
Facilitators and barriers for the delivery and uptake of cervical cancer screening in Indonesia: a scoping review | Gianna Maxi Leila Robbers, Linda Rae Bennett, Belinda Rina Marie Spagnoletti, Siswanto Agus Wilopo | Global Health Action | 2021 | Link |
Early adolescents in adversity: A latent class approach to understanding patterns of emotional and behavioral problems across low-resource urban settings worldwide | Shoshanna L. Fine, MPH Robert W. Blum, MD, PhD Judith K. Bass, PhD Aimée M. Lulebo, MD, PhD William Stones, MD Anggriyani W. Pinandari, MPH Siswanto A. Wilopo, MD, ScD Xiayun Zuo, PhD Rashelle J. Musci, PhD | Journal of Adolescent Health | 2020 | Link |
The primary health center factors associated with contraceptive use among women in Indonesia | Arini Hardianti, Siswanto Agus Wilopo, Mohammad Hakimi, Althaf Setiawan | Indonesian Journal of Nursing and Midwefery | 2020 | Link |
Progress towards reducing sociodemographic disparities in breastfeeding outcomes in Indonesia: a trend analysis from 2002 to 2017 | Nurmala Selly Saputri, Belinda Rina Marie Spagnoletti, Alison Morgan, Siswanto Agus Wilopo, Ankur Singh, Barbara McPake, Rifat Atun, Rika Kumala Dewi, John Tayu Lee | BMC Public Health | 2020 | Link |
Impact of Indonesia’s national health insurance scheme on inequality in access to maternal health services: A propensity score matched analysis | Kanya Anindya, John Tayu Lee, Barbara McPake, Siswanto Agus Wilopo, Christopher Millett, Natalie Carvalho | Journal of Global Health | 2020 | Link |
The role of decision-making pattern on the use of long-acting and permanent contraceptive methods among married women in Indonesia | I Gusti Agung Agus Mahendra, Siswanto Agus Wilopo, Sukamdi, I Gusti Ngurah Edi Putra | The European Journal of Contraception & Reproductive Health Care | 2019 | Link |
Achieving gender equality requires placing adolescents at the center | Robert Wm Blum, M.D., M.P.H., Ph.D. Jo Boyden, Ph.D. Annabel Erulkar, Ph.D. Caroline Kabiru, Ph.D. Siswanto Wilopo, M.D. Ph.D. | Journal of Adolescent Health | 2019 | Link |
Measuring agency as a dimension of empowerment among young adolescents globally; findings from the global early adolescent study | Linnea A. Zimmerman, Mengmeng Li, Caroline Moreau, Siswanto Wilopo, Robert Blum | SSM - Population Health | 2019 | Link |
The final decision is with the patient’: reproductive modernity and preferences for non-hormonal and non-biomedical contraceptives among postpartum middle class women in Yogyakarta, Indonesia | Belinda Rina Marie Spagnoletti, Linda Rae Bennett, Michelle Kermode, Siswanto Agus Wilopo | Asian Population Studies | 2019 | Link |
A qualitative study of parental knowledge and perceptions of human papillomavirus and cervical cancer prevention in Rural Central Java, Indonesia: Understanding community readiness for prevention interventions | Belinda Rina Marie Spagnoletti, Linda Rae Bennett, Amirah Ellyza Wahdi, Siswanto Agus Wilopo, Christina Alexandra Keenan | Asian Pacific Journal of Cancer Prevention | 2019 | Link |
Declining age at menarche in Indonesia: a systematic review and meta-analysis | Abdul Wahab, Siswanto Agus Wilopo , Mohammad Hakimi, Djauhar Ismail | International Journal of Adolescent Medicine and Health | 2018 | Link |
‘I wanted to enjoy our marriage first… but I got pregnant right away’: a qualitative study of family planning understandings and decisions of women in urban Yogyakarta, Indonesia | Belinda Rina Marie Spagnoletti, Linda Rae Bennett, Michelle Kermode, Siswanto Agus Wilopo | BMC Pregnancy and Childbirth | 2018 | Link |
Position and chance of Indonesia family planing to achieve RPJMN 2015-2019 and FP2020 targets | Anggriyani Wahyu Pinandari, Siswanto Agus Wilopo | Jurnal Kesehatan Masyarakat | 2018 | Link |
Prevalence and pattern of uterine bleeding among breastfeeding women using progesterone-only pills | Prima Dhewi Ratrikaningtyas, Dian Rosdiana, Siswanto Agus Wilopo | Public Health of Indonesia | 2018 | Link |
Moralising rhetoric and imperfect realities: breastfeeding promotions and the experiences of recently delivered mothers in urban Yogyakarta, Indonesia | Belinda Rina Marie Spagnoletti, Linda Rae Bennett, Michelle Kermode, Siswanto Agus Wilopo | Asian Studies Review | 2018 | Link |
Determining the cause of death: Mortality surveillance using verbal autopsy in Indonesia | Abdul Wahab, Ifta Choiriyyah, Siswanto Agus Wilopo | The Medical Journal of Tropical Medicine and Hygiene | 2017 | Link |
Variations in disability and quality of life with age and sex between eight lower income and middle-income countries: data from the INDEPTH WHO-SAGE collaboration | Francesc Xavier Gomez-Olive, Julia Schröders, Isabella Aboderin, Peter Byass, Somnath Chatterji, Justine I Davies, Cornelius Debpuur, Siddhivinayak Hirve, Abraham Hodgson, Sanjay Juvekar, Kathleen Kahn, Paul Kowal, Rose Nathan, Nawi Ng, Abdur Razzaque, Osman Sankoh, Peter K Streatfield, Stephen M Tollman, Siswanto A Wilopo, Miles D Witham | BMJ Global Health | 2017 | Link |
Levels, trends and correlates of unmet need for family planning among postpartum women in Indonesia: 2007–2015 | Siswanto Agus Wilopo, Althaf Setyawan, Anggriyani Wahyu Pinandari, Titut Prihyugiarto, Flourisa Juliaan, Robert J. Magnani | BMC Women's Health | 2017 | Link |
Multitasking breastfeeding mamas: middle class women balancing their reproductive and productive lives in Yogyakarta, Indonesia | Belinda RM Spagnoletti, Linda R Bennett, Michelle Kermode, Siswanto A Wilopo | Breastfeeding Review | 2017 | Link |

The State of the World's Children 2021
Pandemi COVID-19 telah menaikan kesadaran mengenai kesehatan mental generasi muda. Namun, pandemi ini hanya merepresentasikan ujung dari “gunung es masalah kesehatan mental” – gunung es yang selama ini kita abaikan terlalu lama. The State of the World’s Children 2021 memeriksa kesehatan mental anak, remaja, dan orang tua/wali. Laporan ini terfokus pada faktor risiko dan protektor pada saat-saat kritis dalam perjalanan hidup dan menyelidiki determinan sosial yang membentuk kesehatan mental dan kesejahteraan. Dibutuhkan komitmen, komunikasi, dan aksi sebagai bagian dari pendekatan komprehensif untuk mempromosikan kesehatan mental yang baik untuk setiap anak, melindungi anak-anak yang rentan, dan memperhatikan anak-anak yang menghadapi masalah besar.

Laporan Penelitian: Studi Kualitatif Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
Jumlah remaja Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 64 juta jiwa (27,6%) yang berarti satu dari empat penduduk Indonesia adalah remaja, maka risiko kesehatan pada penduduk kelompok umur ini akan sangat memengaruhi kesehatan populasi di masa depan. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa 8,3% remaja laki-laki dan 1% remaja perempuan telah melakukan hubungan seksual pranikah (BPS, 2013). Jadi apabila dari 43,9 juta jiwa usia remaja pada tahun 2017 terdapat 10% dari mereka telah menyatakan dirinya aktif secara seksual, maka ada 2,1 juta (laki-laki 1,6 juta dan perempuan 215.000 orang) remaja yang menghadapi berbagai risiko kesehatan reproduksi. Akan tetapi, saat ini belum banyak studi berskala nasional di Indonesia yang memberikan gambaran status kesehatan remaja khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seksualitas dan kehamilan dari sudut pandang remaja itu sendiri, orang tua dan pemangku kepentingan. Untuk mengisi kesenjangan informasi tersebut, studi kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam kepada lebih dari 200 pemangku kepentingan/stakeholder, wawancara dengan teknik vignette (cerita kasus) kepada 144 remaja laki-laki dan perempuan usia 10-14 tahun dan wawancara mendalam kepada orang tuanya sejumlah 144 pasang, serta FGD pada 288 remaja laki-laki dan perempuan usia 15-19 tahun.
Kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang berkualitas, mudah diakses dan bebas prasangka serta stigma disampaikan oleh sebagian besar remaja. Pada kelompok remaja usia 10-14 tahun ditemukan kesenjangan antara harapan sumber informasi yang diinginkan remaja dan sumber informasi yang orang tua mereka pikirkan. Ketika remaja 10-14 tahun ingin menerima informasi dari orang tua, orang tua justru beranggapan anak mereka sudah cukup mendapatkan informasi tersebut dari sekolah dan internet. Stigma dan tabu yang melekat pada isu-isu berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih banyak ditemukan di Indonesia. Bagi remaja 15-19 tahun kondisi ini menyebabkan akses informasi lewat internet atau teman sebaya lebih disukai. Hal ini juga yang menyebabkan orang tua dan penyedia layanan tidak mampu melaksanakan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi secara maksimal.
Usia menikah yang ideal tidak berbeda menurut pandangan semua remaja yaitu: perempuan berada pada rentang 20-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-30 tahun. Perbedaan usia ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan mengenai peran gender seperti bahwa laki-laki sebagai pemimpin keluarga harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan, dan matang secara psikologis. Berkaitan dengan usia hamil bagi perempuan dan laki-laki menjadi ayah, mayoritas remaja menyebut usia 20-30 tahun adalah yang ideal, dan 25 tahun yang paling banyak disebut. Pilihan usia untuk menikah dan memiliki anak kurang lebih berada pada rentang umur yang sama dipengaruhi oleh pandangan budaya di masyarakat bahwa pasangan yang sudah menikah dituntut untuk memiliki anak sesegera mungkin.
Respon terhadap Kehamilan TIdak Diinginkan (KTD) menurut sebagian besar remaja, orang tua dan pemangku kepentingan adalah dinikahkan. Sebagian remaja menyatakan lebih baik melarikan diri/pergi dari rumah atau menggugurkan kandungannya/kandungan pacarnya dengan cara-cara non-medis sesuai pengetahuan mereka menurut cerita dari teman-teman sebayanya. Respon lain terkait KTD yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, NTT dan Papua adalah aturan adat dalam bentuk pembayaran denda oleh laki-laki yang menghamili, meskipun tanpa harus menikahi. Besaran denda ditentukan oleh pihak perempuan berupa uang dan perhiasan yang dianggap berharga bagi suku/masyarakatnya.
Koordinasi serta kerjasama antar-pemangku kepentingan dan pelaksana program masih menjadi masalah yang perlu dipecahkan baik di sektor pemerintah (antar SKPD) maupun swasta yang melibatkan LSM/Ormas, tokoh masyarakat dan agama agar tidak terjadi tumpang tindih dana, program dan sasarannya. Kebutuhan akan inovasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi seperti penggunaan video, animasi, aplikasi online dan lain-lain yang lebih ramah dan menarik bagi remaja juga orang tuanya sangat dirasakan oleh mayoritas informan studi ini. Internalisasi dan advokasi di dalam institusi yang terkait dengan program kesehatan reproduksi masih belum berjalan efektif sehingga memengaruhi pandangan dan kepedulian stakeholder pemerintah dalam memastikan payung hukum serta dalam menjalankan pogram kesehatan reproduksi seksual remaja.
Kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang berkualitas, mudah diakses dan bebas prasangka serta stigma disampaikan oleh sebagian besar remaja. Pada kelompok remaja usia 10-14 tahun ditemukan kesenjangan antara harapan sumber informasi yang diinginkan remaja dan sumber informasi yang orang tua mereka pikirkan. Ketika remaja 10-14 tahun ingin menerima informasi dari orang tua, orang tua justru beranggapan anak mereka sudah cukup mendapatkan informasi tersebut dari sekolah dan internet. Stigma dan tabu yang melekat pada isu-isu berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih banyak ditemukan di Indonesia. Bagi remaja 15-19 tahun kondisi ini menyebabkan akses informasi lewat internet atau teman sebaya lebih disukai. Hal ini juga yang menyebabkan orang tua dan penyedia layanan tidak mampu melaksanakan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi secara maksimal.
Usia menikah yang ideal tidak berbeda menurut pandangan semua remaja yaitu: perempuan berada pada rentang 20-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-30 tahun. Perbedaan usia ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan mengenai peran gender seperti bahwa laki-laki sebagai pemimpin keluarga harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan, dan matang secara psikologis. Berkaitan dengan usia hamil bagi perempuan dan laki-laki menjadi ayah, mayoritas remaja menyebut usia 20-30 tahun adalah yang ideal, dan 25 tahun yang paling banyak disebut. Pilihan usia untuk menikah dan memiliki anak kurang lebih berada pada rentang umur yang sama dipengaruhi oleh pandangan budaya di masyarakat bahwa pasangan yang sudah menikah dituntut untuk memiliki anak sesegera mungkin.
Respon terhadap Kehamilan TIdak Diinginkan (KTD) menurut sebagian besar remaja, orang tua dan pemangku kepentingan adalah dinikahkan. Sebagian remaja menyatakan lebih baik melarikan diri/pergi dari rumah atau menggugurkan kandungannya/kandungan pacarnya dengan cara-cara non-medis sesuai pengetahuan mereka menurut cerita dari teman-teman sebayanya. Respon lain terkait KTD yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, NTT dan Papua adalah aturan adat dalam bentuk pembayaran denda oleh laki-laki yang menghamili, meskipun tanpa harus menikahi. Besaran denda ditentukan oleh pihak perempuan berupa uang dan perhiasan yang dianggap berharga bagi suku/masyarakatnya.
Koordinasi serta kerjasama antar-pemangku kepentingan dan pelaksana program masih menjadi masalah yang perlu dipecahkan baik di sektor pemerintah (antar SKPD) maupun swasta yang melibatkan LSM/Ormas, tokoh masyarakat dan agama agar tidak terjadi tumpang tindih dana, program dan sasarannya. Kebutuhan akan inovasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi seperti penggunaan video, animasi, aplikasi online dan lain-lain yang lebih ramah dan menarik bagi remaja juga orang tuanya sangat dirasakan oleh mayoritas informan studi ini. Internalisasi dan advokasi di dalam institusi yang terkait dengan program kesehatan reproduksi masih belum berjalan efektif sehingga memengaruhi pandangan dan kepedulian stakeholder pemerintah dalam memastikan payung hukum serta dalam menjalankan pogram kesehatan reproduksi seksual remaja.

Laporan Lengkap Indikator PMA 2020
Jumlah remaja Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 64 juta jiwa (27,6%) yang berarti satu dari empat penduduk Indonesia adalah remaja, maka risiko kesehatan pada penduduk kelompok umur ini akan sangat memengaruhi kesehatan populasi di masa depan. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa 8,3% remaja laki-laki dan 1% remaja perempuan telah melakukan hubungan seksual pranikah (BPS, 2013). Jadi apabila dari 43,9 juta jiwa usia remaja pada tahun 2017 terdapat 10% dari mereka telah menyatakan dirinya aktif secara seksual, maka ada 2,1 juta (laki-laki 1,6 juta dan perempuan 215.000 orang) remaja yang menghadapi berbagai risiko kesehatan reproduksi. Akan tetapi, saat ini belum banyak studi berskala nasional di Indonesia yang memberikan gambaran status kesehatan remaja khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seksualitas dan kehamilan dari sudut pandang remaja itu sendiri, orang tua dan pemangku kepentingan. Untuk mengisi kesenjangan informasi tersebut, studi kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam kepada lebih dari 200 pemangku kepentingan/stakeholder, wawancara dengan teknik vignette (cerita kasus) kepada 144 remaja laki-laki dan perempuan usia 10-14 tahun dan wawancara mendalam kepada orang tuanya sejumlah 144 pasang, serta FGD pada 288 remaja laki-laki dan perempuan usia 15-19 tahun.
Kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang berkualitas, mudah diakses dan bebas prasangka serta stigma disampaikan oleh sebagian besar remaja. Pada kelompok remaja usia 10-14 tahun ditemukan kesenjangan antara harapan sumber informasi yang diinginkan remaja dan sumber informasi yang orang tua mereka pikirkan. Ketika remaja 10-14 tahun ingin menerima informasi dari orang tua, orang tua justru beranggapan anak mereka sudah cukup mendapatkan informasi tersebut dari sekolah dan internet. Stigma dan tabu yang melekat pada isu-isu berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih banyak ditemukan di Indonesia. Bagi remaja 15-19 tahun kondisi ini menyebabkan akses informasi lewat internet atau teman sebaya lebih disukai. Hal ini juga yang menyebabkan orang tua dan penyedia layanan tidak mampu melaksanakan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi secara maksimal.
Usia menikah yang ideal tidak berbeda menurut pandangan semua remaja yaitu: perempuan berada pada rentang 20-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-30 tahun. Perbedaan usia ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan mengenai peran gender seperti bahwa laki-laki sebagai pemimpin keluarga harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan, dan matang secara psikologis. Berkaitan dengan usia hamil bagi perempuan dan laki-laki menjadi ayah, mayoritas remaja menyebut usia 20-30 tahun adalah yang ideal, dan 25 tahun yang paling banyak disebut. Pilihan usia untuk menikah dan memiliki anak kurang lebih berada pada rentang umur yang sama dipengaruhi oleh pandangan budaya di masyarakat bahwa pasangan yang sudah menikah dituntut untuk memiliki anak sesegera mungkin.
Respon terhadap Kehamilan TIdak Diinginkan (KTD) menurut sebagian besar remaja, orang tua dan pemangku kepentingan adalah dinikahkan. Sebagian remaja menyatakan lebih baik melarikan diri/pergi dari rumah atau menggugurkan kandungannya/kandungan pacarnya dengan cara-cara non-medis sesuai pengetahuan mereka menurut cerita dari teman-teman sebayanya. Respon lain terkait KTD yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, NTT dan Papua adalah aturan adat dalam bentuk pembayaran denda oleh laki-laki yang menghamili, meskipun tanpa harus menikahi. Besaran denda ditentukan oleh pihak perempuan berupa uang dan perhiasan yang dianggap berharga bagi suku/masyarakatnya.
Koordinasi serta kerjasama antar-pemangku kepentingan dan pelaksana program masih menjadi masalah yang perlu dipecahkan baik di sektor pemerintah (antar SKPD) maupun swasta yang melibatkan LSM/Ormas, tokoh masyarakat dan agama agar tidak terjadi tumpang tindih dana, program dan sasarannya. Kebutuhan akan inovasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi seperti penggunaan video, animasi, aplikasi online dan lain-lain yang lebih ramah dan menarik bagi remaja juga orang tuanya sangat dirasakan oleh mayoritas informan studi ini. Internalisasi dan advokasi di dalam institusi yang terkait dengan program kesehatan reproduksi masih belum berjalan efektif sehingga memengaruhi pandangan dan kepedulian stakeholder pemerintah dalam memastikan payung hukum serta dalam menjalankan pogram kesehatan reproduksi seksual remaja.
Kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang berkualitas, mudah diakses dan bebas prasangka serta stigma disampaikan oleh sebagian besar remaja. Pada kelompok remaja usia 10-14 tahun ditemukan kesenjangan antara harapan sumber informasi yang diinginkan remaja dan sumber informasi yang orang tua mereka pikirkan. Ketika remaja 10-14 tahun ingin menerima informasi dari orang tua, orang tua justru beranggapan anak mereka sudah cukup mendapatkan informasi tersebut dari sekolah dan internet. Stigma dan tabu yang melekat pada isu-isu berkaitan dengan kesehatan reproduksi masih banyak ditemukan di Indonesia. Bagi remaja 15-19 tahun kondisi ini menyebabkan akses informasi lewat internet atau teman sebaya lebih disukai. Hal ini juga yang menyebabkan orang tua dan penyedia layanan tidak mampu melaksanakan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan reproduksi secara maksimal.
Usia menikah yang ideal tidak berbeda menurut pandangan semua remaja yaitu: perempuan berada pada rentang 20-25 tahun, sedangkan laki-laki 25-30 tahun. Perbedaan usia ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan mengenai peran gender seperti bahwa laki-laki sebagai pemimpin keluarga harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaan, dan matang secara psikologis. Berkaitan dengan usia hamil bagi perempuan dan laki-laki menjadi ayah, mayoritas remaja menyebut usia 20-30 tahun adalah yang ideal, dan 25 tahun yang paling banyak disebut. Pilihan usia untuk menikah dan memiliki anak kurang lebih berada pada rentang umur yang sama dipengaruhi oleh pandangan budaya di masyarakat bahwa pasangan yang sudah menikah dituntut untuk memiliki anak sesegera mungkin.
Respon terhadap Kehamilan TIdak Diinginkan (KTD) menurut sebagian besar remaja, orang tua dan pemangku kepentingan adalah dinikahkan. Sebagian remaja menyatakan lebih baik melarikan diri/pergi dari rumah atau menggugurkan kandungannya/kandungan pacarnya dengan cara-cara non-medis sesuai pengetahuan mereka menurut cerita dari teman-teman sebayanya. Respon lain terkait KTD yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, NTT dan Papua adalah aturan adat dalam bentuk pembayaran denda oleh laki-laki yang menghamili, meskipun tanpa harus menikahi. Besaran denda ditentukan oleh pihak perempuan berupa uang dan perhiasan yang dianggap berharga bagi suku/masyarakatnya.
Koordinasi serta kerjasama antar-pemangku kepentingan dan pelaksana program masih menjadi masalah yang perlu dipecahkan baik di sektor pemerintah (antar SKPD) maupun swasta yang melibatkan LSM/Ormas, tokoh masyarakat dan agama agar tidak terjadi tumpang tindih dana, program dan sasarannya. Kebutuhan akan inovasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi seperti penggunaan video, animasi, aplikasi online dan lain-lain yang lebih ramah dan menarik bagi remaja juga orang tuanya sangat dirasakan oleh mayoritas informan studi ini. Internalisasi dan advokasi di dalam institusi yang terkait dengan program kesehatan reproduksi masih belum berjalan efektif sehingga memengaruhi pandangan dan kepedulian stakeholder pemerintah dalam memastikan payung hukum serta dalam menjalankan pogram kesehatan reproduksi seksual remaja.

E4A National Report
Explore4Action merupakan suatu program penelitian dan advokasi perintis yang mengkaji pengalaman sosialisasi gender dan perkembangan seksualitas anak muda berusia 12–24 tahun di Indonesia, serta bagaimana hal ini dipengaruhi oleh program Pendidikan Kesehatan Reproduksi komprehensif (Comprehensive Sexuality Education, CSE) bernama SETARA. Explore4Action bertujuan mengumpulkan bukti pendukung bagi implementasi dan penyebarluasan CSE serta strategi tepat-usia demi memperbaiki kualitas kesehatan seksual dan reproduksi remaja (Adolescent Sexual and Reproductive Health, ASRH) di Indonesia. Explore 4 Action terinspirasi oleh badan studi ilmiahyang menekankan bahwa mencapai kesetaraan gender merupakan elemen yang amat krusial demi bertambah baiknya kondisi kesehatan reproduksi dan seksual, serta majunya suatu negara; dimana periode remaja awal (10-14 tahun) merupakan jendela peluang untuk membangun norma serta perilaku yang lebih setara gender.
Advokasi Explore4Action memiliki basis data dari tiga jalur penelitian: (i) kajian longitudinal Global Early Adolescent Study (GEAS) di Indonesia, yang mengidentifikasi faktor-faktor pendorong perkembangan dan perilaku (seksual) yang sehat; (ii) Youth Voices Research yang bersifat kualitatif dan partisipatif; serta (iii) penelitian implementasi yang mengumpulkan bukti tentang apa saja yang dibutuhkan demi keberhasilan implementasi CSE di Indonesia. Laporan ini menyajikan serangkaian hasil utama dari temuan dasar GEAS pada tahun 2018, serta dari dua tahap pelaksanaan Youth Voices Research.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada usia 12-13 tahun, remaja yang masih sangat muda telah menghadapi berbagai kekhawatiran yang signifikan di area kesehatan dan kesejahteraan. Remaja terpapar kadar agresi yang tinggi baik dari teman sebaya maupun dari orang dewasa, dan hal ini tampaknya memengaruhi kesehatan mental serta rasa keberhargaan diri mereka.
Remaja – khususnya perempuan – mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta menunjukkan skor yang tinggi tentang rasa tidak nyaman mengenai perkembangan tubuh; mereka juga cemas dan merasa bersalah terhadap mulai munculnya perasaan seksual. Komunikasi antar orang tua-anak pada topik kesehatan reproduksi terbatas, dan orang tua merasa kurang mampu untuk membicarakan topik ini di rumah. Remaja yang berusia sedikit lebih tua menjelaskan bahwa membicarakan seksualitas ialah hal yang tabu, yang berarti mereka telanjur tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali pelecehan seksual yang terjadi di masa kecil mereka, tidak mempunyai bahasa untuk menceritakan apa yang sedang terjadi pada diri mereka, serta tidak tahu harus meminta bantuan siapa/ke mana. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa urusan tabu tentang seksualitas sama sekali tidak bermanfaat untuk melindungi kaum muda dari ‘hal-hal yang buruk’. Sebaliknya, ini justru membahayakan mereka.
Temuan-temuan ini juga menunjukkan bahwa pada masa remaja awal, laki-laki dan perempuan sudah memiliki sejumlah sikap yang tidak setara-gender dalam hal relasi, sifat, dan peran gender. Sikap stereotip terhadap gender ini umum terlihat baik pada laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih berpotensi mendorong perilaku mengejek sebagai ganjaran terhadap perilaku yang mereka anggap tidak sesuai gender.
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun anak laki-laki maupun perempuan keduanya menghadapi berbagai pengalaman kesulitan dalam masa bertumbuh besar di Indonesia, anak laki-laki tampaknya mengalami lebih banyak kerugian emosional daripada anak perempuan. Anak laki-laki menunjukkan skor yang lebih tinggi secara signifikan pada gejala-gejala depresi serta lebih rendah pada kebebasan untuk mengambil keputusan serta kebebasan untuk bersuara; mereka pun lebih mungkin pernah mengalami kekerasan dibandingkan anak perempuan. Semua hasil ini tampaknya terkait dengan norma stereotip gender yang berlaku, yang berekspektasi bahwa anak laki-laki harus tangguh, tidak menunjukkan perasaan, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan mencari nafkah untuk keluarga di masa depan.
Yang terakhir, GEAS menunjukkan bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki keinginan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi (terutama anak perempuan) dan untuk menunda menikah sampai paling sedikit usia 21- 25 tahun (50%) atau lebih (45%). Dua pertiga ingin menunda memiliki anak sampai paling sedikit usia 25 tahun, serta tiga perempat ingin memiliki anak dua orang saja atau kurang dari itu. Anak perempuan menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam hal bersuara, mengambil keputusan, dan “perencanaan”. Namun, keinginan dan cita-cita ini berbeda dari realitas. Orang tua memang melaporkan ekspektasi yang sama dalam hal pendidikan bagi putra-putri mereka, tetapi jumlah anak laki-laki yang melaporkan bahwa mereka berekspektasi tamat SMU dan melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan jauh lebih rendah daripada anak perempuan, serta baik pendapat anak laki-laki maupun anak perempuan kurang berpengaruh terhadap kapan dan dengan siapa mereka akan menikah. Ketidaksesuaian antara cita-cita dan realitas ini lahir dari norma gender yang kuat. Anak laki-laki melaporkan mereka sering merasa ditekan untuk berhenti bersekolah lebih awal demi mulai mencari nafkah sebagai tulang punggung keluarga. Pendidikan anak perempuan, di sisi lain, dipandang penting untuk menarik perhatian calon suami yang lebih baik dan untuk mendidik anak, lebih daripada untuk tujuan mendapat pekerjaan. Melalui temuan-temuan ini, kami melihat bagaimana norma gender yang merugikan telah membatasi pencapaian cita-cita kaum muda.
Advokasi Explore4Action memiliki basis data dari tiga jalur penelitian: (i) kajian longitudinal Global Early Adolescent Study (GEAS) di Indonesia, yang mengidentifikasi faktor-faktor pendorong perkembangan dan perilaku (seksual) yang sehat; (ii) Youth Voices Research yang bersifat kualitatif dan partisipatif; serta (iii) penelitian implementasi yang mengumpulkan bukti tentang apa saja yang dibutuhkan demi keberhasilan implementasi CSE di Indonesia. Laporan ini menyajikan serangkaian hasil utama dari temuan dasar GEAS pada tahun 2018, serta dari dua tahap pelaksanaan Youth Voices Research.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada usia 12-13 tahun, remaja yang masih sangat muda telah menghadapi berbagai kekhawatiran yang signifikan di area kesehatan dan kesejahteraan. Remaja terpapar kadar agresi yang tinggi baik dari teman sebaya maupun dari orang dewasa, dan hal ini tampaknya memengaruhi kesehatan mental serta rasa keberhargaan diri mereka.
Remaja – khususnya perempuan – mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta menunjukkan skor yang tinggi tentang rasa tidak nyaman mengenai perkembangan tubuh; mereka juga cemas dan merasa bersalah terhadap mulai munculnya perasaan seksual. Komunikasi antar orang tua-anak pada topik kesehatan reproduksi terbatas, dan orang tua merasa kurang mampu untuk membicarakan topik ini di rumah. Remaja yang berusia sedikit lebih tua menjelaskan bahwa membicarakan seksualitas ialah hal yang tabu, yang berarti mereka telanjur tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali pelecehan seksual yang terjadi di masa kecil mereka, tidak mempunyai bahasa untuk menceritakan apa yang sedang terjadi pada diri mereka, serta tidak tahu harus meminta bantuan siapa/ke mana. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa urusan tabu tentang seksualitas sama sekali tidak bermanfaat untuk melindungi kaum muda dari ‘hal-hal yang buruk’. Sebaliknya, ini justru membahayakan mereka.
Temuan-temuan ini juga menunjukkan bahwa pada masa remaja awal, laki-laki dan perempuan sudah memiliki sejumlah sikap yang tidak setara-gender dalam hal relasi, sifat, dan peran gender. Sikap stereotip terhadap gender ini umum terlihat baik pada laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih berpotensi mendorong perilaku mengejek sebagai ganjaran terhadap perilaku yang mereka anggap tidak sesuai gender.
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun anak laki-laki maupun perempuan keduanya menghadapi berbagai pengalaman kesulitan dalam masa bertumbuh besar di Indonesia, anak laki-laki tampaknya mengalami lebih banyak kerugian emosional daripada anak perempuan. Anak laki-laki menunjukkan skor yang lebih tinggi secara signifikan pada gejala-gejala depresi serta lebih rendah pada kebebasan untuk mengambil keputusan serta kebebasan untuk bersuara; mereka pun lebih mungkin pernah mengalami kekerasan dibandingkan anak perempuan. Semua hasil ini tampaknya terkait dengan norma stereotip gender yang berlaku, yang berekspektasi bahwa anak laki-laki harus tangguh, tidak menunjukkan perasaan, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan mencari nafkah untuk keluarga di masa depan.
Yang terakhir, GEAS menunjukkan bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki keinginan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi (terutama anak perempuan) dan untuk menunda menikah sampai paling sedikit usia 21- 25 tahun (50%) atau lebih (45%). Dua pertiga ingin menunda memiliki anak sampai paling sedikit usia 25 tahun, serta tiga perempat ingin memiliki anak dua orang saja atau kurang dari itu. Anak perempuan menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam hal bersuara, mengambil keputusan, dan “perencanaan”. Namun, keinginan dan cita-cita ini berbeda dari realitas. Orang tua memang melaporkan ekspektasi yang sama dalam hal pendidikan bagi putra-putri mereka, tetapi jumlah anak laki-laki yang melaporkan bahwa mereka berekspektasi tamat SMU dan melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan jauh lebih rendah daripada anak perempuan, serta baik pendapat anak laki-laki maupun anak perempuan kurang berpengaruh terhadap kapan dan dengan siapa mereka akan menikah. Ketidaksesuaian antara cita-cita dan realitas ini lahir dari norma gender yang kuat. Anak laki-laki melaporkan mereka sering merasa ditekan untuk berhenti bersekolah lebih awal demi mulai mencari nafkah sebagai tulang punggung keluarga. Pendidikan anak perempuan, di sisi lain, dipandang penting untuk menarik perhatian calon suami yang lebih baik dan untuk mendidik anak, lebih daripada untuk tujuan mendapat pekerjaan. Melalui temuan-temuan ini, kami melihat bagaimana norma gender yang merugikan telah membatasi pencapaian cita-cita kaum muda.

GEAS Baseline 2019
Generasi muda sekarang hidup di lingkungan yang menghadapi transformasi sosial yang secara cepat berubah karena globalisasi, urbanisasi, dan akses pada komunikasi masa. Perubahan yang cepat ini mempengaruhi cara berpikir, norma sosial, dan nilai-nilai sosial yang dianut remaja terutama di negara berkembang. Remaja muda (usia 10-14 tahun) mengalami masa transisi dramatis karena tumbuh dan kembang mereka terutama perkembangan kognitif, sosial, dan seksual. Perubahan fisik dan perubahan ekspektasi sosial memberikan tekanan pada remaja karena perubahan tanggung jawab dan peran remaja di lingkungan. Selain itu, terdapat perkembangan kemampuan kognitif dalam berpikir abstraks sehingga remaja mulai memikirkan masa depan mereka.
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Tujuan pada laporan ini adalah untuk memberikan gambaran data baseline sesuai karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Indonesia, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Indonesia yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantic, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan datanya. Kuesioner pertama diberikan kepada orang tua dan kuesioner kedua diberikan kepada remaja. Kuesioner ini dibagikan kepada 18 sekolah dengan total murid 4,684 siswa yang tersebar di 3 kota yaitu Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Tujuan pada laporan ini adalah untuk memberikan gambaran data baseline sesuai karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Indonesia, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Indonesia yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantic, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan datanya. Kuesioner pertama diberikan kepada orang tua dan kuesioner kedua diberikan kepada remaja. Kuesioner ini dibagikan kepada 18 sekolah dengan total murid 4,684 siswa yang tersebar di 3 kota yaitu Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).

GEAS Bandar Lampung
Generasi muda sekarang hidup di lingkungan yang menghadapi transformasi sosial yang secara cepat berubah karena globalisasi, urbanisasi, dan akses pada komunikasi masa. Perubahan yang cepat ini mempengaruhi cara berpikir, norma sosial, dan nilai-nilai sosial yang dianut remaja terutama di negara berkembang. Remaja muda (usia 10-14 tahun) mengalami masa transisi dramatis karena tumbuh dan kembang mereka terutama perkembangan kognitif, sosial, dan seksual. Perubahan fisik dan perubahan ekspektasi sosial memberikan tekanan pada remaja karena perubahan tanggung jawab dan peran remaja di lingkungan. Selain itu, terdapat perkembangan kemampuan kognitif dalam berpikir abstraks sehingga remaja mulai memikirkan masa depan mereka.
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Laporan ini berfokus untuk memberikan gambaran data baseline karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Bandar Lampung, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda BandarLampung yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantis, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan data yang diberikan terpisah kepada orang tua dan murid. Kuesioner ini dibagikan kepada 6 sekolah di Bandar Lampung dengan total murid 1,414 siswa. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Laporan ini berfokus untuk memberikan gambaran data baseline karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Bandar Lampung, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda BandarLampung yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantis, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan data yang diberikan terpisah kepada orang tua dan murid. Kuesioner ini dibagikan kepada 6 sekolah di Bandar Lampung dengan total murid 1,414 siswa. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).

GEAS Semarang
Generasi muda sekarang hidup di lingkungan yang menghadapi transformasi sosial yang secara cepat berubah karena globalisasi, urbanisasi, dan akses pada komunikasi masa. Perubahan yang cepat ini mempengaruhi cara berpikir, norma sosial, dan nilai-nilai sosial yang dianut remaja terutama di negara berkembang. Remaja muda (usia 10-14 tahun) mengalami masa transisi dramatis karena tumbuh dan kembang mereka terutama perkembangan kognitif, sosial, dan seksual. Perubahan fisik dan perubahan ekspektasi sosial memberikan tekanan pada remaja karena perubahan tanggung jawab dan peran remaja di lingkungan. Selain itu, terdapat perkembangan kemampuan kognitif dalam berpikir abstraks sehingga remaja mulai memikirkan masa depan mereka.
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Laporan ini berfokus untuk memberikan gambaran data baseline karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Semarang, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Semarang yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantis, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan data yang diberikan terpisah kepada orang tua dan murid. Kuesioner ini dibagikan kepada 6 sekolah di Semarang dengan total murid 1,517 siswa. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Laporan ini berfokus untuk memberikan gambaran data baseline karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Semarang, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Semarang yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantis, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan data yang diberikan terpisah kepada orang tua dan murid. Kuesioner ini dibagikan kepada 6 sekolah di Semarang dengan total murid 1,517 siswa. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).

GEAS Denpasar
Generasi muda sekarang hidup di lingkungan yang menghadapi transformasi sosial yang secara cepat berubah karena globalisasi, urbanisasi, dan akses pada komunikasi masa. Perubahan yang cepat ini mempengaruhi cara berpikir, norma sosial, dan nilai-nilai sosial yang dianut remaja terutama di negara berkembang. Remaja muda (usia 10-14 tahun) mengalami masa transisi dramatis karena tumbuh dan kembang mereka terutama perkembangan kognitif, sosial, dan seksual. Perubahan fisik dan perubahan ekspektasi sosial memberikan tekanan pada remaja karena perubahan tanggung jawab dan peran remaja di lingkungan. Selain itu, terdapat perkembangan kemampuan kognitif dalam berpikir abstraks sehingga remaja mulai memikirkan masa depan mereka.
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Tujuan pada laporan ini adalah untuk memberikan gambaran data baseline sesuai karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Indonesia, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Indonesia yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantic, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan datanya. Kuesioner pertama diberikan kepada orang tua dan kuesioner kedua diberikan kepada remaja. Kuesioner ini dibagikan kepada 18 sekolah dengan total murid 4,684 siswa yang tersebar di 3 kota yaitu Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).
Selama 20 tahun terakhir, terdapat ketertarikan yang muncul pada perkembangan dan kesehatan remaja, tetapi focus primer penelitian-penelitian tersebut adalah pada remaja berusia 15-24 tahun. Global Early Adolescent Study (GEAS) berusaha untuk mengisi kekosongan pemahaman mengenai remaja usia muda (10-14 tahun) dan mengikuti perkembangan mereka sampai dewasa. GEAS memiliki tujuan untuk mengeksplorasi perkembangan norma sosial yang tidak setara dan konsekuensinya pada anak laki-laki dan perempuan terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan mental, retensi dan penyelesaian sekolah, dan kekerasan berbasis gender. GEAS akan terbagi dalam 3 gelombang, gelombang pertama (baseline) untuk mengukur informasi dasar sebelum dilakukan intervensi, gelombang kedua (2021) akan mengukur dampak yang diberikan kurikulum SETARA (Semangat Dunia Remaja), dan gelombang ketiga akan melihat bagaimana pandangan remaja yang pernah mendapatkan kurikulum ini. SETARA merupakan kurikulum Pendidikan seksual dan reproduksi yang ditujukan untuk anak SMP (usia 12-14 tahun) di Indonesia. Tujuan pada laporan ini adalah untuk memberikan gambaran data baseline sesuai karakteristik sosioekonomi sampel pada penelitian GEAS di Indonesia, mengeksplorasi norma gender yang selama ini remaja muda Indonesia yakini, memberikan gambaran pengetahuan siswa mengenai pencegahan kehamilan, HIV, kontrasepsi, dan layanan kesehatan reproduksi sebelum dilakukan intervensi SETARA, memberikan informasi mengenai perilaku kekerasan siswa (seperti perundungan, mengejek), hubungan romantic, dan akses pada layanan kesehatan reproduksi, dan memberikan gambaran kesehatan remaja secara umum yang dapat digunakan stakeholders untuk dapat membuat intervensi kesehatan bagi remaja.
Penelitian GEAS gelombang pertama ini menggunakan 2 kuesioner dalam pengumpulan datanya. Kuesioner pertama diberikan kepada orang tua dan kuesioner kedua diberikan kepada remaja. Kuesioner ini dibagikan kepada 18 sekolah dengan total murid 4,684 siswa yang tersebar di 3 kota yaitu Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar. Penelitian ini merupakan kolaborasi dengan beberapa instansi penelitian yaitu Rutgers WPF, Pusat Kespro UGM, dan PKBI dengan dukungan dari Johns Hopkins (JHU) Bloomberg School of Public Health, The Karolinska Institute, dan World Health Organization (WHO).

Bringing Private Midwives into Indonesia’s National Health Insurance Scheme: A Landscape Analysis
ndonesia suffers from stubbornly high maternal mortality. Addressing this challenge is a key priority for the government. Private midwives provide a substantial proportion of reproductive and maternal services across the country. However, very few of these midwives are contracted under Indonesia’s national health insurance scheme, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). On the one hand, a sizeable proportion of women pay out-of-pocket (OOP) for maternal services at varying levels of quality from private midwives, while on the other an increasing proportion of JKN claims are for expensive services, including caesarean sections (C-sections). Integrating this widely accepted frontline provider of maternal services into JKN could have equity, efficiency, and quality benefits.
This report summarizes findings from a landscaping study that ThinkWell and the Center for Reproductive Health at Universitas Gadjah Mada undertook in 2018 on JKN engagement with private midwives under the Strategic Purchasing for Primary Health Care (SP4PHC) project. ThinkWell is implementing SP4PHC in partnership with government agencies and research institutions in five countries, with support from a grant from the Bill & Melinda Gates Foundation. The project’s overarching objective is to strengthen how governments purchase primary health care (PHC) services, with a focus on family planning (FP) and maternal, newborn, and child health (MNCH). The team completed a detailed policy review, data analysis, and qualitative interviews to explore why private midwives are not participating in JKN and to generate recommendations about how these underlying factors may be addressed. This information has informed ongoing discussions about improving strategic purchasing for MNCH, which the Ministry of Health (MOH) is leading with key Indonesian stakeholders and partners to ultimately develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN.
A detailed review of JKN processes relating to contracting providers and processing claims reveals the complexity and inefficiency of current systems and how these differ by level and provider type. A major reason why a low proportion of private midwives have joined JKN is the uncertainty of getting reimbursed for services. Private midwives must submit claims through local PHC facilities, which adds another layer of bureaucracy that slows down the overall payment process. Also, the reimbursement rates for MNCH services through JKN are low compared to the OOP fees pregnant women are willing to pay private midwives. The current payment system does not show the benefits of joining JKN for private midwives.
While there is an abundant supply of midwives across Indonesia, there is wide variation in the training, certification, and competencies of midwives. Although there are over 700 schools that provide midwifery training, many are not accredited, and there are wide variations in training standards. Additionally, the administrative burden associated with regulating the licensing of private midwives falls onto overburdened local health officials. Government officials hesitate to include private midwives into JKN because they are unable to adequately monitor and ensure the quality of their service delivery.
Addressing these pain points will allow the MOH and other key stakeholders to develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN, with support from SP4PHC and other partners. Once private midwives have joined, the purchasing power of JKN can be leveraged to strategically incentivize better-quality practices from this trusted cadre of providers, widen JKN’s effective coverage, and reorient the referral and delivery system more toward PHC and away from more costly upstream services.
This report summarizes findings from a landscaping study that ThinkWell and the Center for Reproductive Health at Universitas Gadjah Mada undertook in 2018 on JKN engagement with private midwives under the Strategic Purchasing for Primary Health Care (SP4PHC) project. ThinkWell is implementing SP4PHC in partnership with government agencies and research institutions in five countries, with support from a grant from the Bill & Melinda Gates Foundation. The project’s overarching objective is to strengthen how governments purchase primary health care (PHC) services, with a focus on family planning (FP) and maternal, newborn, and child health (MNCH). The team completed a detailed policy review, data analysis, and qualitative interviews to explore why private midwives are not participating in JKN and to generate recommendations about how these underlying factors may be addressed. This information has informed ongoing discussions about improving strategic purchasing for MNCH, which the Ministry of Health (MOH) is leading with key Indonesian stakeholders and partners to ultimately develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN.
A detailed review of JKN processes relating to contracting providers and processing claims reveals the complexity and inefficiency of current systems and how these differ by level and provider type. A major reason why a low proportion of private midwives have joined JKN is the uncertainty of getting reimbursed for services. Private midwives must submit claims through local PHC facilities, which adds another layer of bureaucracy that slows down the overall payment process. Also, the reimbursement rates for MNCH services through JKN are low compared to the OOP fees pregnant women are willing to pay private midwives. The current payment system does not show the benefits of joining JKN for private midwives.
While there is an abundant supply of midwives across Indonesia, there is wide variation in the training, certification, and competencies of midwives. Although there are over 700 schools that provide midwifery training, many are not accredited, and there are wide variations in training standards. Additionally, the administrative burden associated with regulating the licensing of private midwives falls onto overburdened local health officials. Government officials hesitate to include private midwives into JKN because they are unable to adequately monitor and ensure the quality of their service delivery.
Addressing these pain points will allow the MOH and other key stakeholders to develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN, with support from SP4PHC and other partners. Once private midwives have joined, the purchasing power of JKN can be leveraged to strategically incentivize better-quality practices from this trusted cadre of providers, widen JKN’s effective coverage, and reorient the referral and delivery system more toward PHC and away from more costly upstream services.

Youth Voice Research I
Indonesia suffers from stubbornly high maternal mortality. Addressing this challenge is a key priority for the government. Private midwives provide a substantial proportion of reproductive and maternal services across the country. However, very few of these midwives are contracted under Indonesia’s national health insurance scheme, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). On the one hand, a sizeable proportion of women pay out-of-pocket (OOP) for maternal services at varying levels of quality from private midwives, while on the other an increasing proportion of JKN claims are for expensive services, including caesarean sections (C-sections). Integrating this widely accepted frontline provider of maternal services into JKN could have equity, efficiency, and quality benefits.
This report summarizes findings from a landscaping study that ThinkWell and the Center for Reproductive Health at Universitas Gadjah Mada undertook in 2018 on JKN engagement with private midwives under the Strategic Purchasing for Primary Health Care (SP4PHC) project. ThinkWell is implementing SP4PHC in partnership with government agencies and research institutions in five countries, with support from a grant from the Bill & Melinda Gates Foundation. The project’s overarching objective is to strengthen how governments purchase primary health care (PHC) services, with a focus on family planning (FP) and maternal, newborn, and child health (MNCH). The team completed a detailed policy review, data analysis, and qualitative interviews to explore why private midwives are not participating in JKN and to generate recommendations about how these underlying factors may be addressed. This information has informed ongoing discussions about improving strategic purchasing for MNCH, which the Ministry of Health (MOH) is leading with key Indonesian stakeholders and partners to ultimately develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN.
A detailed review of JKN processes relating to contracting providers and processing claims reveals the complexity and inefficiency of current systems and how these differ by level and provider type. A major reason why a low proportion of private midwives have joined JKN is the uncertainty of getting reimbursed for services. Private midwives must submit claims through local PHC facilities, which adds another layer of bureaucracy that slows down the overall payment process. Also, the reimbursement rates for MNCH services through JKN are low compared to the OOP fees pregnant women are willing to pay private midwives. The current payment system does not show the benefits of joining JKN for private midwives.
While there is an abundant supply of midwives across Indonesia, there is wide variation in the training, certification, and competencies of midwives. Although there are over 700 schools that provide midwifery training, many are not accredited, and there are wide variations in training standards. Additionally, the administrative burden associated with regulating the licensing of private midwives falls onto overburdened local health officials. Government officials hesitate to include private midwives into JKN because they are unable to adequately monitor and ensure the quality of their service delivery.
Addressing these pain points will allow the MOH and other key stakeholders to develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN, with support from SP4PHC and other partners. Once private midwives have joined, the purchasing power of JKN can be leveraged to strategically incentivize better-quality practices from this trusted cadre of providers, widen JKN’s effective coverage, and reorient the referral and delivery system more toward PHC and away from more costly upstream services.
This report summarizes findings from a landscaping study that ThinkWell and the Center for Reproductive Health at Universitas Gadjah Mada undertook in 2018 on JKN engagement with private midwives under the Strategic Purchasing for Primary Health Care (SP4PHC) project. ThinkWell is implementing SP4PHC in partnership with government agencies and research institutions in five countries, with support from a grant from the Bill & Melinda Gates Foundation. The project’s overarching objective is to strengthen how governments purchase primary health care (PHC) services, with a focus on family planning (FP) and maternal, newborn, and child health (MNCH). The team completed a detailed policy review, data analysis, and qualitative interviews to explore why private midwives are not participating in JKN and to generate recommendations about how these underlying factors may be addressed. This information has informed ongoing discussions about improving strategic purchasing for MNCH, which the Ministry of Health (MOH) is leading with key Indonesian stakeholders and partners to ultimately develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN.
A detailed review of JKN processes relating to contracting providers and processing claims reveals the complexity and inefficiency of current systems and how these differ by level and provider type. A major reason why a low proportion of private midwives have joined JKN is the uncertainty of getting reimbursed for services. Private midwives must submit claims through local PHC facilities, which adds another layer of bureaucracy that slows down the overall payment process. Also, the reimbursement rates for MNCH services through JKN are low compared to the OOP fees pregnant women are willing to pay private midwives. The current payment system does not show the benefits of joining JKN for private midwives.
While there is an abundant supply of midwives across Indonesia, there is wide variation in the training, certification, and competencies of midwives. Although there are over 700 schools that provide midwifery training, many are not accredited, and there are wide variations in training standards. Additionally, the administrative burden associated with regulating the licensing of private midwives falls onto overburdened local health officials. Government officials hesitate to include private midwives into JKN because they are unable to adequately monitor and ensure the quality of their service delivery.
Addressing these pain points will allow the MOH and other key stakeholders to develop and test policies that offer a stronger value proposition to private midwives to participate in JKN, with support from SP4PHC and other partners. Once private midwives have joined, the purchasing power of JKN can be leveraged to strategically incentivize better-quality practices from this trusted cadre of providers, widen JKN’s effective coverage, and reorient the referral and delivery system more toward PHC and away from more costly upstream services.

I-NAMHS National Survey Report
Pada tahun 2016, Lancet Commission on Adolescent Health and Wellbeing mengidentifikasi masa remaja sebagai periode penting bagi perkembangan, baik fisik maupun emosi (Patton et al., 2016). Meskipun remaja generasi saat ini lebih terpapar pada teknologi dan fasilitas kesehatan yang lebih canggih dibanding remaja generasi-generasi sebelumnya, generasi sekarang juga menghadapi tantangan kesehatan, sosial, ekonomi dan budaya yang tidak pernah terjadi pada remaja generasi sebelum mereka (Kleinert & Horton, 2016; Patton et al., 2016). Pemahaman mengenai kesehatan mental remaja penting karena lebih dari setengah gangguan mental dimulai saat masa remaja (World Health Organization, 2014) dan dapat menghasilkan dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang berkepanjangan serta merugikan (Erskine et al., 2016; Ormel et al., 2017).
Namun secara global, masih terdapat disparitas yang cukup signifikan mengenai data prevalensi gangguan mental pada remaja. Sebuah studi oleh Erskine et al. (2017) menemukan bahwa hanya 6.7% populasi global anak dan remaja yang terwakili oleh data prevalensi gangguan mental yang ada. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat antara data dari negara berpendapatan tinggi (HICs; 26.4%) dan negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs; 4.5%). Di Indonesia, proporsi populasi yang terwakili oleh data gangguan mental di kalangan remaja malah lebih rendah, yaitu kurang dari 0.1% (Erskine et al., 2017), Hal ini menandakan bahwa informasi yang diketahui terkait prevalensi gangguan mental di kalangan remaja Indonesia masih sangat sedikit. Walaupun beberapa studi telah memberikan estimasi terkait gangguan mental di kalangan remaja Indonesia, data-data tersebut dibatasi oleh berbagai isu metodologi. Contohnya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan bahwa prevalensi gejala depresif adalah sebesar 5.1%. Namun, pengukuran survei ini menggunakan pendekatan gejala ketimbang diagnostik, sehingga membatasi kemampuan untuk membedakan antara remaja yang mengalami gejala gangguan mental yang ringan (seperti merasakan sedih) dengan remaja yang mengalami gangguan mental yang memerlukan dukungan dan intervensi (Suryaputri, Mubasyiroh, Idaiani, & Indrawati, 2022). Data prevalensi yang akurat sangat krusial bagi pengembangan strategi pencegahan, program pelayanan, serta kampanye advokasi yang efektif bagi kesehatan mental. Hal ini memerlukan penggunaan alat diagnostik, pertimbangan mengenai nilai-nilai budaya setempat, serta desain studi yang kuat. Di saat yang bersamaan, informasi terkait bagaimana remaja melibatkan diri dengan pelayanan yang mendukung kesehatan mental serta wawasan terkait faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi dalam mencari bantuan juga penting untuk diketahui.
Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) merupakan survei rumah tangga berskala nasional untuk mengukur prevalensi gangguan mental pada remaja yang pertama di Indonesia. I-NAMHS akan menginfokan Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya terkait prevalensi, faktor resiko, faktor pelindung, serta penggunaan pelayanan gangguan mental di kalangan remaja. Data yang terkumpul juga akan dilaporkan kepada agensi dan kelompok penelitian internasional, seperti Global Burden of Disease Study (GBD), yang digunakan oleh berbagai kalangan pemangku kepentingan serta pembuat kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan serta memprioritaskan pendanaan dan usaha promosi kesehatan. Selain itu, I-NAMHS dilengkapi dengan metodologi yang dapat dilaksanakan dengan mudah untuk memastikan bahwa luaran yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi. Metodologi ini dapat direplikasi oleh Indonesia di kemudian hari dan dapat juga diadaptasi oleh negara-negara tetangga.
Informasi yang dihasilkan oleh I-NAMHS dapat membantu membentuk dan memperbaiki sistem kesehatan Indonesia serta mendukung perubahan kebijakan yang dapat memberikan dampak positif terhadap remaja di Indonesia. Adanya angka estimasi nasional gangguan mental remaja yang akurat dapat mendorong usaha global yang lebih luas dalam mendukung kesehatan mental serta membangun fondasi yang lebih baik bagi pelayanan kesehatan yang relevan dengan budaya setempat.
Namun secara global, masih terdapat disparitas yang cukup signifikan mengenai data prevalensi gangguan mental pada remaja. Sebuah studi oleh Erskine et al. (2017) menemukan bahwa hanya 6.7% populasi global anak dan remaja yang terwakili oleh data prevalensi gangguan mental yang ada. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat antara data dari negara berpendapatan tinggi (HICs; 26.4%) dan negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs; 4.5%). Di Indonesia, proporsi populasi yang terwakili oleh data gangguan mental di kalangan remaja malah lebih rendah, yaitu kurang dari 0.1% (Erskine et al., 2017), Hal ini menandakan bahwa informasi yang diketahui terkait prevalensi gangguan mental di kalangan remaja Indonesia masih sangat sedikit. Walaupun beberapa studi telah memberikan estimasi terkait gangguan mental di kalangan remaja Indonesia, data-data tersebut dibatasi oleh berbagai isu metodologi. Contohnya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan bahwa prevalensi gejala depresif adalah sebesar 5.1%. Namun, pengukuran survei ini menggunakan pendekatan gejala ketimbang diagnostik, sehingga membatasi kemampuan untuk membedakan antara remaja yang mengalami gejala gangguan mental yang ringan (seperti merasakan sedih) dengan remaja yang mengalami gangguan mental yang memerlukan dukungan dan intervensi (Suryaputri, Mubasyiroh, Idaiani, & Indrawati, 2022). Data prevalensi yang akurat sangat krusial bagi pengembangan strategi pencegahan, program pelayanan, serta kampanye advokasi yang efektif bagi kesehatan mental. Hal ini memerlukan penggunaan alat diagnostik, pertimbangan mengenai nilai-nilai budaya setempat, serta desain studi yang kuat. Di saat yang bersamaan, informasi terkait bagaimana remaja melibatkan diri dengan pelayanan yang mendukung kesehatan mental serta wawasan terkait faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi dalam mencari bantuan juga penting untuk diketahui.
Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) merupakan survei rumah tangga berskala nasional untuk mengukur prevalensi gangguan mental pada remaja yang pertama di Indonesia. I-NAMHS akan menginfokan Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya terkait prevalensi, faktor resiko, faktor pelindung, serta penggunaan pelayanan gangguan mental di kalangan remaja. Data yang terkumpul juga akan dilaporkan kepada agensi dan kelompok penelitian internasional, seperti Global Burden of Disease Study (GBD), yang digunakan oleh berbagai kalangan pemangku kepentingan serta pembuat kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan serta memprioritaskan pendanaan dan usaha promosi kesehatan. Selain itu, I-NAMHS dilengkapi dengan metodologi yang dapat dilaksanakan dengan mudah untuk memastikan bahwa luaran yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi. Metodologi ini dapat direplikasi oleh Indonesia di kemudian hari dan dapat juga diadaptasi oleh negara-negara tetangga.
Informasi yang dihasilkan oleh I-NAMHS dapat membantu membentuk dan memperbaiki sistem kesehatan Indonesia serta mendukung perubahan kebijakan yang dapat memberikan dampak positif terhadap remaja di Indonesia. Adanya angka estimasi nasional gangguan mental remaja yang akurat dapat mendorong usaha global yang lebih luas dalam mendukung kesehatan mental serta membangun fondasi yang lebih baik bagi pelayanan kesehatan yang relevan dengan budaya setempat.


Early Adolescents’ Voices in Indonesia: A qualitative exploration of results from the Global Early Adolescent Study 2020t
YVR Phase II collected information about how gender norms influence parental expectations related to their children’s education and marriage, as well as parent child connectedness. Moreover, we also assessed how adolescents’ voice, mental health, experience of bullying and violence differed by gender.
Using this information, we expect to formulate recommendations for adolescent reproductive health services and interventions that support adolescents and young people in their healthy and safe transition into adulthood, and that are contextually appropriate and relevant.

Annual Report 2023
The Center for Reproductive Health (CRH) is a leading research hub dedicated to sexual and reproductive health, maternal and child well-being, and population studies. With a strong commitment to excellence and innovation, CRH conducts cutting-edge research, implements health surveillance, and promotes educational initiatives. Through collaborations with national and international partners, CRH influences policies, trains healthcare professionals, and drives impactful research.
In 2023, CRH intensified its focus on adolescent health, aiming to provide valuable insights for policy-making and interventions to promote healthier lifestyles among youth. Additionally, CRH remains steadfast in addressing broader population health issues through collaborative efforts with governments, universities, and international organizations. Through its diverse collaborations, numerous publications, community initiatives, and substantial grants, CRH continues to be a key player in advancing reproductive health research and education.
With a track record of impactful research and significant contributions to reproductive health, CRH stands as a pivotal force in driving positive change. By fostering partnerships, conducting research, and advocating for policies, CRH remains dedicated to improving the health and well-being of communities locally and globally.

Pada tahun 2016, Lancet Commission on Adolescent Health and Wellbeing mengidentifikasi masa remaja sebagai periode penting bagi perkembangan, baik fisik maupun emosi (Patton et al., 2016). Meskipun remaja generasi saat ini lebih terpapar pada teknologi dan fasilitas kesehatan yang lebih canggih dibanding remaja generasi-generasi sebelumnya, generasi sekarang juga menghadapi tantangan kesehatan, sosial, ekonomi dan budaya yang tidak pernah terjadi pada remaja generasi sebelum mereka (Kleinert & Horton, 2016; Patton et al., 2016). Pemahaman mengenai kesehatan mental remaja penting karena lebih dari setengah gangguan mental dimulai saat masa remaja (World Health Organization, 2014) dan dapat menghasilkan dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang berkepanjangan serta merugikan (Erskine et al., 2016; Ormel et al., 2017).
Namun secara global, masih terdapat disparitas yang cukup signifikan mengenai data prevalensi gangguan mental pada remaja. Sebuah studi oleh Erskine et al. (2017) menemukan bahwa hanya 6.7% populasi global anak dan remaja yang terwakili oleh data prevalensi gangguan mental yang ada. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat antara data dari negara berpendapatan tinggi (HICs; 26.4%) dan negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs; 4.5%). Di Indonesia, proporsi populasi yang terwakili oleh data gangguan mental di kalangan remaja malah lebih rendah, yaitu kurang dari 0.1% (Erskine et al., 2017), Hal ini menandakan bahwa informasi yang diketahui terkait prevalensi gangguan mental di kalangan remaja Indonesia masih sangat sedikit. Walaupun beberapa studi telah memberikan estimasi terkait gangguan mental di kalangan remaja Indonesia, data-data tersebut dibatasi oleh berbagai isu metodologi. Contohnya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan bahwa prevalensi gejala depresif adalah sebesar 5.1%. Namun, pengukuran survei ini menggunakan pendekatan gejala ketimbang diagnostik, sehingga membatasi kemampuan untuk membedakan antara remaja yang mengalami gejala gangguan mental yang ringan (seperti merasakan sedih) dengan remaja yang mengalami gangguan mental yang memerlukan dukungan dan intervensi (Suryaputri, Mubasyiroh, Idaiani, & Indrawati, 2022). Data prevalensi yang akurat sangat krusial bagi pengembangan strategi pencegahan, program pelayanan, serta kampanye advokasi yang efektif bagi kesehatan mental. Hal ini memerlukan penggunaan alat diagnostik, pertimbangan mengenai nilai-nilai budaya setempat, serta desain studi yang kuat. Di saat yang bersamaan, informasi terkait bagaimana remaja melibatkan diri dengan pelayanan yang mendukung kesehatan mental serta wawasan terkait faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi dalam mencari bantuan juga penting untuk diketahui.
Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) merupakan survei rumah tangga berskala nasional untuk mengukur prevalensi gangguan mental pada remaja yang pertama di Indonesia. I-NAMHS akan menginfokan Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya terkait prevalensi, faktor resiko, faktor pelindung, serta penggunaan pelayanan gangguan mental di kalangan remaja. Data yang terkumpul juga akan dilaporkan kepada agensi dan kelompok penelitian internasional, seperti Global Burden of Disease Study (GBD), yang digunakan oleh berbagai kalangan pemangku kepentingan serta pembuat kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan serta memprioritaskan pendanaan dan usaha promosi kesehatan. Selain itu, I-NAMHS dilengkapi dengan metodologi yang dapat dilaksanakan dengan mudah untuk memastikan bahwa luaran yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi. Metodologi ini dapat direplikasi oleh Indonesia di kemudian hari dan dapat juga diadaptasi oleh negara-negara tetangga.
Informasi yang dihasilkan oleh I-NAMHS dapat membantu membentuk dan memperbaiki sistem kesehatan Indonesia serta mendukung perubahan kebijakan yang dapat memberikan dampak positif terhadap remaja di Indonesia. Adanya angka estimasi nasional gangguan mental remaja yang akurat dapat mendorong usaha global yang lebih luas dalam mendukung kesehatan mental serta membangun fondasi yang lebih baik bagi pelayanan kesehatan yang relevan dengan budaya setempat.
Namun secara global, masih terdapat disparitas yang cukup signifikan mengenai data prevalensi gangguan mental pada remaja. Sebuah studi oleh Erskine et al. (2017) menemukan bahwa hanya 6.7% populasi global anak dan remaja yang terwakili oleh data prevalensi gangguan mental yang ada. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat antara data dari negara berpendapatan tinggi (HICs; 26.4%) dan negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs; 4.5%). Di Indonesia, proporsi populasi yang terwakili oleh data gangguan mental di kalangan remaja malah lebih rendah, yaitu kurang dari 0.1% (Erskine et al., 2017), Hal ini menandakan bahwa informasi yang diketahui terkait prevalensi gangguan mental di kalangan remaja Indonesia masih sangat sedikit. Walaupun beberapa studi telah memberikan estimasi terkait gangguan mental di kalangan remaja Indonesia, data-data tersebut dibatasi oleh berbagai isu metodologi. Contohnya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan bahwa prevalensi gejala depresif adalah sebesar 5.1%. Namun, pengukuran survei ini menggunakan pendekatan gejala ketimbang diagnostik, sehingga membatasi kemampuan untuk membedakan antara remaja yang mengalami gejala gangguan mental yang ringan (seperti merasakan sedih) dengan remaja yang mengalami gangguan mental yang memerlukan dukungan dan intervensi (Suryaputri, Mubasyiroh, Idaiani, & Indrawati, 2022). Data prevalensi yang akurat sangat krusial bagi pengembangan strategi pencegahan, program pelayanan, serta kampanye advokasi yang efektif bagi kesehatan mental. Hal ini memerlukan penggunaan alat diagnostik, pertimbangan mengenai nilai-nilai budaya setempat, serta desain studi yang kuat. Di saat yang bersamaan, informasi terkait bagaimana remaja melibatkan diri dengan pelayanan yang mendukung kesehatan mental serta wawasan terkait faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi dalam mencari bantuan juga penting untuk diketahui.
Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) merupakan survei rumah tangga berskala nasional untuk mengukur prevalensi gangguan mental pada remaja yang pertama di Indonesia. I-NAMHS akan menginfokan Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya terkait prevalensi, faktor resiko, faktor pelindung, serta penggunaan pelayanan gangguan mental di kalangan remaja. Data yang terkumpul juga akan dilaporkan kepada agensi dan kelompok penelitian internasional, seperti Global Burden of Disease Study (GBD), yang digunakan oleh berbagai kalangan pemangku kepentingan serta pembuat kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan serta memprioritaskan pendanaan dan usaha promosi kesehatan. Selain itu, I-NAMHS dilengkapi dengan metodologi yang dapat dilaksanakan dengan mudah untuk memastikan bahwa luaran yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang tinggi. Metodologi ini dapat direplikasi oleh Indonesia di kemudian hari dan dapat juga diadaptasi oleh negara-negara tetangga.
Informasi yang dihasilkan oleh I-NAMHS dapat membantu membentuk dan memperbaiki sistem kesehatan Indonesia serta mendukung perubahan kebijakan yang dapat memberikan dampak positif terhadap remaja di Indonesia. Adanya angka estimasi nasional gangguan mental remaja yang akurat dapat mendorong usaha global yang lebih luas dalam mendukung kesehatan mental serta membangun fondasi yang lebih baik bagi pelayanan kesehatan yang relevan dengan budaya setempat.

YVR Phase II collected information about how gender norms influence parental expectations related to their children’s education and marriage, as well as parent child connectedness. Moreover, we also assessed how adolescents’ voice, mental health, experience of bullying and violence differed by gender.
Using this information, we expect to formulate recommendations for adolescent reproductive health services and interventions that support adolescents and young people in their healthy and safe transition into adulthood, and that are contextually appropriate and relevant.
- Books
- Reports
- Policy Brief

Buku Pegangan Indikator Untuk Evaluasi Program Keluarga Berencana
Lebih banyak kegiatan evaluasi program di bidang KB (KB) dibandingkan dengan evaluasi tentang intervensi kesehatan masyarakat, atau intervensi sosial lainnya. Upaya penyusunan buku pegangan ini merupakan hasil dari berbagai komitmen yang berkesinambungan antara pemerintah, Mitra kerja internasional, dan peneliti selama beberapa dekade untuk memahami dan menjelaskan mekanisme penggunaan metode kontrasepsi, yang akhirnya berujung pada penurunan tingkat fertilitas. Akhir-akhir ini, perhatian pada kontribusi program KB pada kesehatan ibu dan anak meningkat. Demikian juga tentang pentingnya KB sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak asasi manusia telah mendorong penilaian efektivitas program KB yang lebih luas sasarannya.
Banyak hasil kerja evaluasi program KB periode 1960 dan 1970 yang terfokus pada hasil pokok program, yaitu penggunaan kontrasepsi untuk menurunkan tingkat fertilitas di populasi. Namun seiring dengan perkembangan program, berbagai perhatian difokuskan pula pada komponen lain yang merupakan unsur-unsur program dan kinerja dari fungsi di bidang ini. Setelah bekerja beberapa dekade dan mendalami di bidang ini secara luas, maka telah dihasilkan berbagai indikator alternatif untuk menilai kinerja dan dampak dari program KB. Indikator-indikator dapat ditemukan pada berbagai literatur mengenai evaluasi program KB. Konsep-konsep pokok dan berbagai definisi telah dirangkum dalam publikasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada metodologi evaluasi program KB (PBB, 1986).
Kendati telah banyak pengalaman dan dokumentasi yang luas mengenai evaluasi program KB, terdapat dua kekurangan utama mengenai indikator dalam ruang lingkup ini. Pertama, definisi dari indikator yang digunakan untuk mengevaluasi program KB kurang konsisten. Kedua, berbagai indikator yang tersedia dalam literatur belum pernah dikompilasi menjadi satu sumber yang mudah diakses oleh pembaca dengan mudah. Buku pegangan ini dirancang untuk mengatasi dua kekurangan ini.
Kendati telah banyak pengalaman dan dokumentasi yang luas mengenai evaluasi program KB, terdapat dua kekurangan utama mengenai indikator dalam ruang lingkup ini. Pertama, definisi dari indikator yang digunakan untuk mengevaluasi program KB kurang konsisten. Kedua, berbagai indikator yang tersedia dalam literatur belum pernah dikompilasi menjadi satu sumber yang mudah diakses oleh pembaca dengan mudah. Buku pegangan ini dirancang untuk mengatasi dua kekurangan ini.

Buku Keluarga Berencana: Buku Pedoman Global Untuk Penyedia Layanan
Kesehatan Reproduksi menjadi salah satu faktor penentu tercapainya kesehatan dan kesejateraan keluarga dan penduduk. Untuk mencapai hal tersebut, pelayanan KB yang berkualitas dan berbasis pada hak-hak reproduksi setiap orang menjadi salah satu kegiatan utama. Berapapun jumlah penduduk yang dapat dilayani oleh program KB, apabila kualitasnya rendah maka hasilnya tidak akan maksimal. Salah satu cara memecahkan masalah tersebut ialah menyediakan informasi secara lengkap, akurat, terkini dan berbasis bukti Ilmiah dalam menjalankan pelayanan KB.
Buku Pegangan Global Keluarga Berencana (Global Handbook of Family Planning) edisi 2018 telah terbit dan menjadi menjadi salah satu bahan bacaan wajib bagi petugas pelayanan KB yang berlaku secara global. Edisi 2018 merupakan perbaharuan dari Edisi 2014 yang telah kami terjemakan sebelumnya kedalam Bahasa Indonesia. Edisi 2018 dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan seperti halnya edisi sebelumnya. Buku ini berisi pedoman pelayanan Keluarga Berencana bagi penyedia pelayanan KB yang dapat digunakan di seluruh dunia. Pengunaan buku ini didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia. Buku pegangan ini dirancang untuk dapat digunakan pada berbagai macam situasi yang ditulis berlandaskan pengetahuan dan berbasis bukti terkini. Diharapkan penyedia pelayanan KB di Indonesia akan menggunakan buku pegangan ini sehingga menjadi lebih terampil dan meyakinkan dalam melayani klien mereka.
Buku edisi 2018 ini mencakup beberapa hal baru yang ditambahkan dari edisi 2014 sebelumnya. Misalnya rekomendasi terbaru bagi wanita menyusui yang dapat menggunakan implan atau pil progestin kapan saja setelah melahirkan. Selain itu, cakupan-cakupan baru meliputi hak-hak asasi penyedia KB, peran pasangan dalam membantu penggunaan KB, adanya suntik KB yang dapat dipakai oleh wanita itu sendiri, penggunaan KB bagi penderita HIV, cincin vagina progesteron, dan pengguna KB dengan disabilitas.
Perluasan atau cakupan-cakupan baru tersebut memungkinkan untuk lebih terjangkaunya pelayanan KB ke seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelayanan KB merupakan layanan yang dapat dijangkau oleh seluruh wanita dalam kondisi apapun. Penggunaan kontrasepsi darurat juga lebih ditekankan di buku ini sehingga bagi wanita-wanita yang menginginkan penundaan kehamilan dalam kondisi emergensi dapat mengacu buku ini. Buku ini jauh lebih lengkap daripada edisi sebelumnya, sehingga diharapkan akan membawa banyak perubahan menuju pelayanan KB yang berkualitas di Indonesia.
Buku Pegangan Global Keluarga Berencana (Global Handbook of Family Planning) edisi 2018 telah terbit dan menjadi menjadi salah satu bahan bacaan wajib bagi petugas pelayanan KB yang berlaku secara global. Edisi 2018 merupakan perbaharuan dari Edisi 2014 yang telah kami terjemakan sebelumnya kedalam Bahasa Indonesia. Edisi 2018 dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan seperti halnya edisi sebelumnya. Buku ini berisi pedoman pelayanan Keluarga Berencana bagi penyedia pelayanan KB yang dapat digunakan di seluruh dunia. Pengunaan buku ini didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia. Buku pegangan ini dirancang untuk dapat digunakan pada berbagai macam situasi yang ditulis berlandaskan pengetahuan dan berbasis bukti terkini. Diharapkan penyedia pelayanan KB di Indonesia akan menggunakan buku pegangan ini sehingga menjadi lebih terampil dan meyakinkan dalam melayani klien mereka.
Buku edisi 2018 ini mencakup beberapa hal baru yang ditambahkan dari edisi 2014 sebelumnya. Misalnya rekomendasi terbaru bagi wanita menyusui yang dapat menggunakan implan atau pil progestin kapan saja setelah melahirkan. Selain itu, cakupan-cakupan baru meliputi hak-hak asasi penyedia KB, peran pasangan dalam membantu penggunaan KB, adanya suntik KB yang dapat dipakai oleh wanita itu sendiri, penggunaan KB bagi penderita HIV, cincin vagina progesteron, dan pengguna KB dengan disabilitas.
Perluasan atau cakupan-cakupan baru tersebut memungkinkan untuk lebih terjangkaunya pelayanan KB ke seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelayanan KB merupakan layanan yang dapat dijangkau oleh seluruh wanita dalam kondisi apapun. Penggunaan kontrasepsi darurat juga lebih ditekankan di buku ini sehingga bagi wanita-wanita yang menginginkan penundaan kehamilan dalam kondisi emergensi dapat mengacu buku ini. Buku ini jauh lebih lengkap daripada edisi sebelumnya, sehingga diharapkan akan membawa banyak perubahan menuju pelayanan KB yang berkualitas di Indonesia.

Sampling dan Estimasi Besar Sampel: Aplikasi di Bidang Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini merupakan panduan cara mengambil sampel dan mengestimasi besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Tulisan ini ditujukan kepada peneliti, dosen dan mahasiswa yang akan melakukan penelitian kuantitatif di bidangnya. Panduan ini akan membantu mereka agar penelitian yang dilakukan memenuhi kaidah lmiah secara universal. Hasil penelitian akan tidak bermanfaat apabila pada akhirnya besar sampel tidak mencukupi. Setiap penelitian yang tidak bisa menolak hipotesis nol seringkali akibat sampel yang kurang mencukupi. Oleh karena itu dari awal penelitian harus benar-benar secara cermat diperkirakan besar sampel minimal yang dibutuhkan. Tentu saja semua estimasi berdasarkan informasi dari parameter yang sudah tersedia dan keputusan peneliti dengan mempertimbangkan rancangan penelitian dan sumberdana yang tersedia. Telah banyak artikel dan buku yang membahas cara pengambilan sampel. Demikian juga cara-cara menghitung besar sampel yang dibutuhkan. Namun demikian ada beberapa alasan mengapa buku ini berbeda dengan publikasi yang ada.
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain

Petunjuk Penggunaan Stata
Buku ini adalah pengantar penggunaan perangkat lunak Stata untuk versi 16. Versi Stata secara berkala diperbarui dengan menambahkan kemampuan membuat program dan analisis statistik yang baru. Pengguna Stata di bidang ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat semakin meluas bahkan boleh dikatakan menjadi standar baru dalam analisis data kesehatan. Selain untuk keperluan analisis statistik, Stata versi 16 mempunyai kemampuan untuk membaca bahasa markup (markdown) yang dapat ditulis pada editor Stata (do Editor). Dengan fasilitas tambahan ini, menulis naskah dapat mengintegrasikan secara langsung dari teks ke analisa statistik oleh Stata. Buku ini dibuat menggunakan kemampuan tambahan tersebut.
Buku pengantar penggunaan Stata ini ditulis untuk mahasiswa dan para peneliti, termasuk dosen yang akan menganalisis data kesehatan. Karena berupa pengantar maka tidak mencakup berbagai teknik statisik pada tingkat lanjut. Namun demikian melalui buku pengantar ini diharapkan sudah cukup membantu dalam mengikuti kuliah-kuliah biostatistik yang kami berikan di program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dari pengalaman kami mengajar biostistik lebih dari 20 tahun ini, membaca buku ini adalah suatu keharusan agar belajar dan penerapan biostistik dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Program Stata kami pilih karena program ini memiliki kegunaan yang lebih luas di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Buku petunjuk (manual) lengkapnya juga tersedia dalam file pdf yang mencakup 31 volume dan terdiri lebih dari 15.000 halaman. Buku petujuk tersebut dapat diakses dari program Stata. Beberapa contoh perintah (command) untuk data prossing, transformasi dan analysis yang sederhana dapat di unduh di http://chnrl.net/lampiran.do. Semoga buku pengantar ini bermanfaat.
Buku pengantar penggunaan Stata ini ditulis untuk mahasiswa dan para peneliti, termasuk dosen yang akan menganalisis data kesehatan. Karena berupa pengantar maka tidak mencakup berbagai teknik statisik pada tingkat lanjut. Namun demikian melalui buku pengantar ini diharapkan sudah cukup membantu dalam mengikuti kuliah-kuliah biostatistik yang kami berikan di program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dari pengalaman kami mengajar biostistik lebih dari 20 tahun ini, membaca buku ini adalah suatu keharusan agar belajar dan penerapan biostistik dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Program Stata kami pilih karena program ini memiliki kegunaan yang lebih luas di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Buku petunjuk (manual) lengkapnya juga tersedia dalam file pdf yang mencakup 31 volume dan terdiri lebih dari 15.000 halaman. Buku petujuk tersebut dapat diakses dari program Stata. Beberapa contoh perintah (command) untuk data prossing, transformasi dan analysis yang sederhana dapat di unduh di http://chnrl.net/lampiran.do. Semoga buku pengantar ini bermanfaat.

Panduan Menulis Artikel Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini sebagai panduan untuk menulis artikel ilmiah di bidang kedokteran dan Kesehatan masyarakat untuk peneliti, dosen dan mahasiswa tentang bagaimana cara menulis artikel dan jurnal kedokteran dan Kesehatan masyarakat. Buku ini sebagai bentuk agar peneliti, dosen dan mahasiswa dapat menyebarluaskan hasil penelitian agar bermanfaat bagai masyarakat ilmiah dengan publikasi yang baik dan berkualitas sesuai pemahaman dan konsep-konsep penulisan artikel secara baik. Penulisan hasil penelitian dalam jurnal/artikel ilmiah harus memenuhi 2 kriteria pokok, yaitu: -- kaidah penelitian yang baik dan -- cara-cara publikasi yang benar. Kaidah penelitian yang baik harus mencakup berbagai aspek, antara lain masalah keaslian penelitian, relevansi pertanyaan penelitian yang diajukan, validitas dan reliabilitas pengukuran, kebenaran dan ketepatan cara analisis data, dan interpretasi hasil penelitian. Untuk tata-cara penulisan yang benar adalah mengikuti standar tata-cara penulisan ilmiah secara umum dan tata-cara penulisan artikel dari penerbit jurnal.

Sampling dan Estimasi Besar Sampel: Aplikasi di Bidang Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat
Buku ini merupakan panduan cara mengambil sampel dan mengestimasi besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Tulisan ini ditujukan kepada peneliti, dosen dan mahasiswa yang akan melakukan penelitian kuantitatif di bidangnya. Panduan ini akan membantu mereka agar penelitian yang dilakukan memenuhi kaidah lmiah secara universal. Hasil penelitian akan tidak bermanfaat apabila pada akhirnya besar sampel tidak mencukupi. Setiap penelitian yang tidak bisa menolak hipotesis nol seringkali akibat sampel yang kurang mencukupi. Oleh karena itu dari awal penelitian harus benar-benar secara cermat diperkirakan besar sampel minimal yang dibutuhkan. Tentu saja semua estimasi berdasarkan informasi dari parameter yang sudah tersedia dan keputusan peneliti dengan mempertimbangkan rancangan penelitian dan sumberdana yang tersedia. Telah banyak artikel dan buku yang membahas cara pengambilan sampel. Demikian juga cara-cara menghitung besar sampel yang dibutuhkan. Namun demikian ada beberapa alasan mengapa buku ini berbeda dengan publikasi yang ada.
Pertama, pembahasan pengambilan sampel (sampling) biasanya dibahas secara spesifik untuk kepentingan survei. Jarang buku-buku berbahasa Indonesia membahas pengambilan sampel untuk bidak kedokteran dan kesehatan masyarakat selain survei, misalnya sampel untuk rancangan kasus-kontrol dan randomized control trial. Kedua, uraian perkiraan besar sampel biasanya terpisah dengan cara pengambilan sampel. Buku ini membahas kedua hal tersebut bersama-sama. Ketiga, karena terlalu banyak cara-cara perhitungan besar sampel selama ini, pembaca seringkali menjadi kebingungan dalam menerapkan pada penelitiannya. Buku ini memilih beberapa contoh umum perhitungan besar sampel yang telah banyak digunakan dalam penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Keempat, buku ini menjelaskan dengan contoh-contoh nyata yang relevan dengan bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kelima, agar peneliti dapat melakukan estimasi dengan mudah serta memahami langkah-langkah perhitungan secara benar, pada lampiran buku ini diberikan perintah komputasi menggunakan program R yang tidak berbayar dan mudah di adaptasi ke perangkat lunak yang lain